Oleh Nusya Kuswantin*

Gambar: jualbukusastra.blogspot.com
Pada penutup bagian Prakata di halaman viii, Bengcu menuliskan namanya dalam huruf kecil semua: hai hai bengcu ang ci yang. Bisa ditebak bahwa nama yang diberikan oleh orangtuanya adalah Ci Yang saja, dengan Ang adalah nama keluarga, sementara Bengcu dan Hai Hai adalah julukan tambahan. Berangkat dari nama ini saya ingin menafsir Bengcu dalam bukunya “Bengcu Menggugat Teologi Alam Roh” (Atma Bina Semesta Jakarta, 2013, 286 halaman). Cara menuliskan nama – yang dengan huruf kecil semua – saya tafsir sebagai upaya Bengcu menunjukkan sisi kerendahhatiannya. Ini bisa disetarakan ketika dalam bahasa Inggris orang memilih menggunakan i (huruf kecil) untuk menggantikan I (yang bermakna saya, yang menurut konvensi harus ditulis dalam huruf besar) dengan dalih bahwa penggunaan huruf besar menyiratkan keakuan yang arogan.
Lagi pula, komunikasi cepat dalam bentuk teks-teks pendek sebagai dampak dari revolusi teknologi serat optik sejak sekitar seperempat abad lalu, dengan segala derivasinya seperti telepon genggam dan media sosial berbasis internet, telah melahirkan gaya penulisan yang baru, yang melanggar konvensi tata cara penulisan bahasa.
Jadi, pilihan Bengcu menuliskan namanya tanpa huruf besar mungkin telah menjadi sesuatu yang biasa dewasa ini, kendati saya belum pernah mendapatkan kabar pengecualian seperti ini telah diterima dalam dunia perbukuan. Dunia perbukuan, sepengetahuan saya, memiliki aturan-aturan baku yang lebih rigid, demi tidak membuat pembacanya bingung.
Cara Bengcu menuliskan namanya tanpa huruf besar – juga caranya yang tidak menggunakan huruf miring untuk kata-kata asing yang tersebar dalam seluruh bukunya, dan justru menggunakan cetak miring untuk kata-kata yang seharusnya tidak dicetak miring – dengan sendirinya menyiratkan keberaniannya melawan arus utama.
Dan memang demikianlah buku ini. Melalui buku ini Bengcu menggugat teologi alam roh, suatu bentuk teologi yang seolah telah menyihir banyak umat untuk serta-merta meyakini dan mematuhi semata-mata karena diucapkan oleh seorang pendeta. Maklum, alam roh adalah alam mistis yang penuh misteri. Dipercaya ada namun kebanyakan orang tidak bisa mengintipnya. Dan mistisisme semacam ini, sebagaimana halnya magi, memang merupakan daya tarik dari agama-agama di mana pun. Tanpa mistisisme, tanpa magi, agama akan kehilangan daya pesonanya.
Maka, tidaklah mengherankan apabila pemuka agama atau pendeta yang mengaku, dan dipercaya bisa, menembus alam roh akan dengan mudah mengumpulkan dan didengarkan oleh umat. Maklum juga, agama teosentris seperti Kristen memang bersifat dogmatis, sehingga kata-kata seorang panutan akan cenderung diterima sebagai benar adanya tanpa perlu dikritisi.
Dengan mendasarkan pada teks-teks Alkitab, Bengcu mengkritisi otoritas pendeta yang menggunakan referensi alam roh untuk berkomunikasi dengan umat. Bengcu melihat bahwa praktik para pendeta semacam ini justru bertentangan dengan ajaran yang tertulis di dalam Alkitab yang seharusnya menjadi sumber kebenaran utama umat Kristiani. Dalam buku ini Bengcu menyajikan ayat-ayat dari Alkitab yang dijadikan sebagai panduan dalam menilai kesaksian menyangkut alam roh, dan berdasarkan ayat-ayat ini Bengcu berani menyatakan bahwa kesaksian para penginjil dan pendeta tentang hal-hal yang berkaitan dengan roh, adalah pepesan kosong belaka.
Siapa sajakah pendeta dan penginjil Kristen yang menurut Bengcu menggunakan referensi alam roh dalam berkomunikasi dengan umatnya? Bengcu tidak segan-segan menyebut sederet nama pada bagian Prakata – yaitu Pdt. Dr. Eku Hidayat, Ev. Harun Jusuf, Ev. Daud Tony, Pdt. Gilbert Lumoindong, Ev. Andereas Samudera, Pdt. Budi Asali MDiv, Pdt. Philip Mantofa, dan Pdt. Yesaya Pariadji. Bengcu menantang para pembaca untuk menguji apakah kesaksian para pendeta dan penginjil ini benar-benar kisah nyata dan apakah ajaran mereka berdasarkan Alkitab.
Selain menggunakan ayat-ayat Alkitab, dalam gugatannya terhadap teologi alam roh, Bengcu juga menggunakan metode pembuktian terbalik untuk menyangkal kegaiban praktik-praktik yang selama ini oleh awam dianggap sebagai ajaib atau berkaitan dengan (alam) roh. Bagi Bengcu, fenomena tenaga dalam, ilmu kebal, santet, pelet, susuk, operasi gaib, bambu gila, berjalan di atas api, hipnosis, ilmu ramal, jelangkung, ataupun pukulan roh kudus, adalah fenomena fisika biasa yang bisa dibuktikan dengan cara sederhana dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan roh.
Cultural Assassination
Judul lengkap yang tertulis pada sampul buku adalah: “Bengcu Menggugat Teologi Alam Roh (Di Mata Seorang Tionghoa Kristen)”. Di dalam Prakata tidak dijelaskan mengapa ia perlu menuliskan kata Tionghoa Kristen dan apa bedanya dengan orang Kristen dari etnis lainnya. Tetapi dengan membaca Bab Empat dan Bab Lima, kita jadi paham mengapa ia perlu merujuk pada asal etnisitasnya itu. Bengcu gusar terhadap cara pandang beberapa pendeta dan penginjil Kristen yang dinilainya tidak memiliki cultural sensitivity dan bersikap mendegradasi budaya Tionghoa – untuk tidak mengatakan melakukan cultural assassination.
Semangat misionarisme agama-agama teosentrik di Indonesia nyatanya telah berhasil membunuh agama-agama antroposentrik lokal. Di NTT agama lokal Jingitiu telah musnah, di Tanah Batak Parmalim juga tinggal jejaknya, di Jawa pun agami Jawi mengalami nasib sama. Di Kalimantan, umat agama Kaharingan dipaksa bergabung dengan agama Hindu.
Misionarisme diuntungkan oleh sikap negara yang cenderung melakukan standarisasi dan mengadopsi definisi agama yang bias-teosentrik. Sebagai akibatnya, kelompok-kelompok agama dikategorikan di bawah Departemen Agama, kelompok-kelompok kebatinan dan agama-agama lokal dikategorikan di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Maka kemudian, agama-agama asli Indonesia yang semuanya antroposentrik tergilas, dan umatnya “dipaksa” memilih salah satu dari lima (sekarang enam) agama yang direstui negara. (Memang janggal, negara yang punya tugas mengurus persoalan-persoalan publik malah ikut-ikutan mengurus persoalan agama yang termasuk ranah privat. Urusan privat yang perlu dilakukan negara, menurut hemat saya, hanyalah mencatat pernikahan dan kelahiran saja).
Ketika agama-agama teosentrik berjaya seperti dewasa ini di Indonesia, saya kira dampaknya sangat jelas: Warga bangsa ini cenderung melihat keyakinan warga negara dengan cara stereotyping dan standardizing. Keyakinan lantas dipandang harus mengacu pada syarat yang ditentukan oleh negara yang sifatnya teosentrik. Dan pada gilirannya, manusia Indonesia kehilangan kehalusan budi untuk membaca simbol-simbol budaya dan membiarkan dirinya terjebak pada kedangkalan-kedangkalan, serta tidak mampu lagi membaca sesuatu yang tersirat melalui perlambang karena terbiasa dengan teosentrisme yang ajarannya tersurat.
Maka, saya bisa paham bila Bengcu merasa gusar terhadap sikap seorang pendeta yang menyandang titel doktor yang mendegradasi tradisi upacara kematian warga Tionghoa (halaman 163-170). Saya kira sang pendeta doktor telah terjebak pada pendekatan positivistik yang biasa digunakan untuk melihat fenomena ilmu pengetahuan alam dalam melihat fenomena-fenomena budaya. Sebagai seorang doktor, apalagi seorang pemuka agama, seharusnya ia memiliki referensi tentang metode pendekatan terhadap fenomena-fenomena sosial-budaya. Karena ilmu-ilmu humaniora memang memiliki metode pendekatan yang berbeda, dan positivisme bukanlah salah satu diantaranya.
Dalam melihat tradisi upacara kematian etnis Tionghoa, menurut saya, sang pendeta doktor seharusnya menggunakan pendekatan symbolic interpretive. Dengan metode tafsir simbol maka akan bisa dipahami makna-makna yang tersirat di balik berbagai simbol-simbol dalam upacara kematian.
Saya merasa optimistis, apabila misionarisme dilakukan dengan menggunakan pendekatan kultural, tanpa melecehkan budaya setempat, dan tidak serta-merta mencabut akar-akar budaya asli untuk menggantinya dengan budaya asal agama yang akan diintroduksi, dan sebaliknya menginsersi inti ajaran agama baru ke dalam bingkai nilai-nilai lokal, maka proses pengembangan misi akan bisa berjalan dengan damai dan minim resistensi.
Dengan kata lain, bila pendeta doktor tidak melakukan kekeliruan dalam membaca fenomena budaya Tionghoa, saya kira Bengcu tidak perlu merasa geram.
Anti Hermeneutika
Bengcu sungguh pemberani. Ia menggunakan Alkitab sebagai dasar gugatannya, namun ia menolak pendekatan hermeneutik sebagai metode untuk memahami teks kitab suci yang dianut banyak pakar. Pada alinea kedua halaman Prakata Bengcu menuliskan: Alkitab harus dipahami dan tidak boleh ditafsir karena Alkitab ditulis untuk dipahami bukan untuk ditafsirkan. Memahami artinya mengerti betul. Menafsirkan adalah menangkap maksud perkataan dan kalimat tidak apa adanya saja, namun mengutarakan pendapat sendiri atas suatu perkataan atau kalimat. Anda menafsirkan karena tidak memahami atau menganggap yang tertulis salah. Menafsirkan berarti membuang kesempatan untuk memahami karena tafsiran adalah pendapat sendiri, bukan yang tertulis.
Saya bisa paham bila ada yang beranggapan bahwa buku ini punya potensi “mengguncang” kalangan umat percaya, karena pendapat Bengcu yang mengatakan bahwa Alkitab tidak boleh ditafsir dan seterusnya itu, merupakan tantangan yang sungguh berani terhadap ilmu hermeneutika. Hermeneutika sebagai pendekatan atau metode ilmiah telah melalui sejarah panjang. Sebagai metode tentu saja siapa pun dipersilakan menggugatnya dan meruntuhkannya melalui cara-cara yang juga ilmiah, yang disepakati oleh banyak pakar, melalui suatu forum diskusi dan debat ilmiah serta dimuat dalam jurnal ilmiah. Menolak tafsir terhadap Alkitab tanpa mengajukan referensi apapun kecuali alasan pribadi sendiri, sama halnya dengan menantang suatu metode ilmiah dengan cara yang kurang ilmiah.
Saya pribadi beranggapan pendapat Bengcu bahwa Alkitab tidak boleh ditafsir, adalah sikap sewenang-wenang yang menyiratkan klaim kebenaran tunggal, yang juga menjurus pada fundamentalisme picik. Bagi saya, kitab suci haruslah ditafsir secara kontekstual dan bukan semata-mata dipahami secara tekstual belaka, mengingat dua hal:
Satu: Rentang waktu yang demikian panjang antara ketika kisah kejadian yang ditulis dalam kitab suci dan saat ini ketika kita membacanya. Dalam rentang waktu yang lebih dari dua ribu tahun, banyak kejadian yang tidak lagi relevan mengingat perkembangan peradaban manusia. Kendati sejarah dipercaya selalu berulang, nilai-nilai kemanusiaan telah bergeser dan berubah bersama tuntutan peradaban, sehingga bacaan teks kitab suci menurut saya perlu diberi makna baru.
Dua: Kekayaan kosakata antara bahasa sumber teks dan bahasa tujuan penerjemahan tidak pernah sama. Bahasa-bahasa tua selalu lebih kaya kosakata dibandingkan dengan bahasa yang usianya lebih muda. Contohnya adalah bahasa Jawa jauh lebih kaya dibandingkan bahasa Indonesia. Hal ini menyulitkan usaha transliterasi, sehingga semata-mata memahami teks kitab suci sebagaimana adanya, tanpa penjelasan yang panjang untuk satu ayat misalnya, buat saya menjadi mustahil, kecuali bila kita bermaksud melecehkan akal sehat.
Tetapi Bengcu adalah Bengcu. Ia salah satu dari Pendekar Pedang Samber Gledek yang selalu siap bertempur di jalanan. Ia bahkan berani menuding bahwa beberapa hasil terjemahan LAI (pastilah maksudnya adalah Lembaga Alkitab Indonesia kendati ia tidak menjelaskannya) sebagai keliru.
Bahkan ia tidak segan menyebut LAI sebagai ngaco-belo dalam menerjemahkan Alkitab (halaman 75), tanpa ia sendiri menunjukkan referensi atau sumber-sumber pustaka yang digunakan untuk menuduh demikian, kecuali ia langsung menyajikan terjemahan versinya sendiri yang dianggapnya sebagai benar. Bengcu tidak menyebut buku panduan apa yang ia gunakan, juga kamus mana yang ia gunakan dalam menerjemahkan, sehingga ada kesan bahwa Bengcu sendirilah yang menjadi sumber referensi.
Jadi, begitulah yang namanya Bengcu. Lepas dari kekurangan di sana-sini, buku ini menarik untuk disimak. Bengcu, saya yakin, senantiasa siap melayani tantangan-tantangan yang muncul berkaitan terbitnya bukunya yang kontroversial ini. ***
Tentang penulis:
*Nusya Kuswantin sedang menyusun tesis antropologi agama dengan kajian Buddha Jawi, bisa dihubungi melalui email nusyakuswantin@yahoo.com. Dia adalah penulis Novel berjudul LASMI.
NB.
Sampai saat ini buku Bengcu Menggugat Teologi Alam Roh Di Mata Seorang Tionghoa Kristen, belum dijual di toko buku. itu sbabnya anda hanya bisa membelinya lewat Internet. Harga buku Rp. 79.000,- Ongkos kirim ditanggung pembeli. Cara membeli? PM ke Face Book hai hai atau kirim email ke bengcumenggugat@gmail.com atau SMS ke 0852 8455 6636. Beritahu nama dan alamat juga No. HP anda serta jumlah buku yang dipesan. Selanjutnya anda akan diberitahu jumlah ongkos kirim yang harus ditanggung, juga nomor REKENING Bank yang harus anda transfer. Pengiriman akan segera dilakukan setelah pembayaran dikonfirmasi oleh Bank.
Pendapat yang bagus!!!
mbak Nusya tidak akan sembarangan berpendapat.
tulisan yang berjudul 4912 ga bisa dibuka. errornya Page Not Found. Apa ga jadi terbit?
Mungkin itu tulisan ini yang saya hapus, sebab lupa kasih JUDUL.
Kudeta perasaan karena sakit hati sehingga tidak harmonisasi dari gereja reformed injili ….tetapi seperti ateisme yg kontrovesi mas kho bengcu cina jawa apa cina medan atau cina yg ga diakui bangsa cina karena tinggal dan minum мкñ ditanah jawa.
Bengcu sebenarnya bukan orang kristen tetapi kemungkinan besar dia adalah cina dg adat istiadat yg kental bahkan panatik sekali,jadi jangan terkecoh dg tulisan tulisanya yg mengcounter dg alkitab,karena bengcu pakai alkitab untuk menarik orang kristen supaya membaca tulisannya,jadi bengcu seorang yg lihai atau licik.jadi menurut saya bengcu kemungkinan besar suhu,pemimpin salh satu paguyuban tionghoa yg sakit hati atau luka perasaanya karena merasa diserang habis adt istiadatnya oleh bayk pemimpin pemimpin kristen maknya yg jadi sasaran serangnya adalh para pendeta.terbukti sekalinkarena dia tidak berani kutak katik agama agama lain selain kristen.bengcu adalah seorang yg memiliki pemahaman adat istiadat tionghoa kuno yg kuat.besar kemungkinan dia sangat berang sekali ketika banyak orang cina indonesia pindah jadi kristen dan melupakan adat istiadat cina kunonya.kenapa bengcu membuat blog dg seolah olah bengcu yg ahli alkitab karena dg demikian banyak orang kristen akan terkecoh dan membacanya dg tujuan orang kristen tersebut menarik kesimpulan bahwa bengcu seorang kristen, disisi lain dari tulisanntulisan bengcu mengambarkan bahwa dia punya imaginasi sexs yg tinggi,sampai sampai dia membayangkan bisa bersetubuh dg ibu kandungnya sendiri dan adik akndungnya sendiri,kemungkinan besar bengcu juga orang yg memiliki pemikiran dan imaginasi dan daya kayal yg tinggi,atau mungkin dia memiliki obsesi hasrat sexual dg orang yg sedarah atau incest. Jadi tulisan tulisan diblognya adalah mengambarkan expresi hatinya yg marah dan luka xerta sakit hati karena yg menurut bengcu benar ditentang habis sama kekristenan.kesimpulanya bengcu bukan seoran kristen tetapi orang yg ingin menyerang kektistenan.
@saudara ipar bengcu
pengen numpang tenar ya? huhehehe
Tuhan itu ga bisa di personifikasi.. Tuhan itu mutlak dan ga bisa digambarkan..
di dunia ini yang bermain adalah hukum karma & reinkarnasi..
*kalo mau pake logika yah*