Banyak orang yang menuduh orang Tionghoa Indonesia tidak nasionalisme karena mereka anti pembauran dan suka tinggal di perumahan eksklusif dan hidup secara eksklusif lepas dari masyarakat. Tanya, “Kenapa kenapa?”
Walaupun alinea pertama pembukaan UUD 1945 mencantumkan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” namun secara sistematis dan masif pemerintah Indonesia justru menjajah orang-orang Tionghoa Indonesia sebagai NON PRI-bumi selama 50 tahun.
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, orang-orang Tionghoa Nusantara dikebiri kemerdekaannya sehingga menjadi warga negara asing (WNA) oleh Orde Lama dan diperas untuk membayar agar mendapat kewarganegaraan Indonesia pada jaman Orde Baru. Namun sayangnya, walaupun telah membayar dan menjadi WNI (Warga Negara Indonesia), namun kartu tanda penduduk (KTP) mereka langsung disunat alias ditandai sebagai NON PRI-bumi. Dengan cara demikianlah orang-orang Tionghoa Indonesia menjalani hidup sebagai sapi perah yang dipaksa dan diperas tenaganya dan uangnya untuk membayar mahal agar mendapat pelayanan dari aparat pemerintah dan orang-orang yang mengagul-agulkan dirinya PRIBUMI.
Kakek saya namanya Ang Ki, lahir di Hokkien. Ketika berumur 14 tahun, dia merantau ke Hamparan Perak, Nusantara. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945 keluarga keluarga besar kami langsung menjadi warga negara Indonesia. Ayah saya lahir tahun 1942 dengan nama Ang Tek Leng. Saya lahir tahun 1964 dengan nama Ang Tji Yang.
Sebagai kepala keluarga Tionghoa di sebuah kecamatan, tahun 1984, Ang Tek Leng diharuskan oleh Camat untuk menjadi ketua Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) kecamatan. Agar nasionalis, dia disuruh ikut penataran P4 dan mengganti namanya dan anak istrinya dengan nama kekinian yang dianggap Indonesia banget.
Kisanak, seumur hidupnya, kami mengalami diskriminasi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, secara sistematis dan masif, kami dipaksa untuk hidup secara eksklusif dan tidak boleh membaur agar tetap ketahuan cinanya.
Aneh bin ajaib. Alih-alih menaruh belas kasihan kepada kami yang dipaksa hidup demikian, anda justru menyalahkan kami tidak nasionalis karena hidup eksklusif dan tidak membaur? Ha ha ha ….. Dilan banget sih lu ya? Ha ha ha …
Sima niu berkata dengan sedih, “Semua orang punya kakak adik, aku akan mati sendirian.” Zixia menjawab, “Aku pernah mendengar: Mati hidup ada takdirnya. Kaya mulia tergantung Tian 天Yang Mahatinggi. Junzi 君子 susilawan selalu jing 敬bersungguh-sungguh dan tidak ceroboh. Dia memperlakukan sesama manusia penuh hormat dan li 禮 kesusilaan. Karena di keempat penjuru lautan kita adalah kakak adik, kenapa pula susilawan mengeluh tidak punya kakak adik? Lunyu 12:5 – Yanyuan
Pembaruan bukan menjadi satu ras juga bukan menjadi satu agama apalagi satu warna kulit karena pembauran adalah hidup tepa salira bhineka tunggal ika karena di keempat penjuru lautan kita adalah adik kakak.
Awalnya orang tionghoa juga mau berbaur dengan pribumi tapi karena mendapat pengalaman diskriminasi yang buruk akhirnya menjadi tinggal dipemukiman exclusive karena khawatir pada kesehatan mental anak-anak mereka. Saya sendiri dulu pernah mengalami dibully ketika sekolah di SD negeri, malahan yang kurang ajar adalah gurunya agama mayoritas. makanya orang tionghoa menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah komunitas kristen karena disitu ada teman yang juga tionghoa.
Diskriminasi itu FAKTA sejarah. Banyak orang yang mengalaminya. Itu sebabnya kita harus berjuang bersama-sama menghapusnya. Hapus segala diskriminasi karena bertentangan dengan peri kemanusian dan peri keadilan.
Hahaha… Anda benar Koh Hai… Logika memang sering dibalik2.. Tergantung maunya mereka saja…