
Gambar: Satu harapan.com
Pertama-tama saya ingin menyatakan penghargaan saya atas usaha saudara saya, Hai Hai Beng Cu, yang telah bekerja keras untuk menerbitkan buku ini. Melihat isi buku dan tebalnya, saya membayangkan Hai Hai sudah menghabiskan banyak sekali waktu – entah berapa tahun – untuk menggali isi Alkitab dan menggumuli pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam hatinya. Saya jarang sekali menemukan anggota gereja seperti Hai Hai yang mempunyai ketekunan untuk menggali isi Alkitab dengan sungguh-sungguh serius, mencoba menggali kata-katanya dalam bahasa aslinya, bahasa Ibrani dan Yunani, dst.
Saya harus mengakui dari permulaan bahwa saya tidak sempat membahas seluruh isi buku “Menggugat Teologi Alam Roh” ini dengan sepenuhnya, karena keterbatasan waktu saya. Karena itu saya akan mencoba membahas apa yang mungkin saya bahas.
Dalam pembahasan ini, saya tentu saja datang dengan latar belakang saya, sebagai seorang pendeta yang menggeluti ilmu teologi, meskipun teologi biblika bukanlah bidang spesialisasi saya. Saya lebih banyak menggeluti masalah-masalah agama dan kemasyarakatan. Selain itu, saya mempunyai latar belakang pengalaman yang mungkin sedikit banyak ikut menolong saya dalam membedah buku “Teologi Alam Roh” ini. Saya berpengalaman sebagai penerjemah sejumlah buku teologi untuk BPK Gunung Mulia dan Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Dengan modal ini saya akan mencoba menanggapi kritik Hai Hai terhadap penerjemahan Alkitab – di antaranya.
Kerangka berpikir
Hai Hai mengatakan dasar pemikirannya bahwa “Alkitab ditulis dengan prinsip: Logis, gamblang, sistematis, akurat, tegas, dan konsisten serta dua saksi.” Ia juga mengatakan bahwa ia membaca Alkitab tanpa prasangka.
Kerangka berpikir ini saya pikir bisa menimbulkan persoalan. Pemahaman bahwa “Alkitab ditulis dengan prinsip: Logis, gamblang, sistematis, akurat, tegas, dan konsisten serta dua saksi” saya kira tidak mempunyai dasar.
Logis
Prinsip logis di dalam Alkitab yang harus kita pahami adalah prinsip logis seperti yang dipahami oleh para penulis pada masa Alkitab ditulis. Misalnya, ketika Alkitab menjelaskan bahwa Allah menciptakan terang sebelum matahari diciptakan, tentu sulit dipahami oleh orang modern pada saat ini. Namun untuk manusia pada zaman itu (menurut para pakar Alkitab kisah penciptaan yang pertama dalam Kitab Kejadian disusun pada sekitar tahun 500-an seb.M. ) tampaknya gambaran itu cukup logis.
Yang ingin disampaikan oleh penulis Pristis pada waktu itu adalah bagaimana Allah bekerja dengan cara yang teratur dan sistematis. Keenam hari penciptaan itu digunakan Allah sedemikian rupa sehingga kita dapat membayangkannya demikian:
Hari 1: Terang dan gelap Hari 4: Benda-benda langit, matahari, bulan bintang
Hari 2: Cakrawala dan laut Hari 5: Binatang-binatang laut dan burung-burung
Hari 3: Darat dan tumbuh-tumbuhan Hari 6: Binatang dan manusia
Dengan logika seperti ini kita dapat melihat bagaimana penulis kisah Kejadian menunjukkan bahwa Allah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Bagian sisi kiri adalah persiapan yang dibuat Allah, dan bagian sisi kanan adalah isi untuk apa yang telah disiapkan-Nya terlebih dahulu.
Masalah logika dalam cerita juga muncul dalam kisah Nuh, misalnya. Menurut ukuran kapal yang diberikan dalam Alkitab adalah “300 hasta panjangnya, 50 hasta lebarnya dan 30 hasta tingginya.” (Kej. 6:15). Dengan menggunakan hasta kerajaan Mesir yang lebih panjang, yaitu 529 mm., maka ukuran ini berarti 158,7m panjang, 26,45m lebar, dan 15,87m tingginya. Artinya, isi bahtera ini 12.592,9m2. Ukuran ini sama dengan 1,259 hektare atau jauh lebih kecil daripada Kebun Binatang Surabaya yang ukurannya 10 hektare, atau Kebun Binatang Ragunan yang 147 hektare. Dengan ukuran yang sedemikian sempit, bagaimana Nuh bisa menempatkan semua binatang yang ada di dunia di dalam bahtera itu – meskipun binatang-binatang itu hanya sepasang-sepasang? Jelas bahwa cerita Nuh tidak boleh kita tafsirkan secara logika manusia modern seperti dikatakan oleh Nuh, sebab bukan ini yang menjadi tujuan cerita tersebut.
Persoalan lain tentang logisnya tulisan dalam Alkitab juga muncul ketika kita membaca Yosua 10:12. Di situ dikatakan, “Lalu Yosua berbicara kepada TUHAN pada hari TUHAN menyerahkan orang Amori itu kepada orang Israel; ia berkata di hadapan orang Israel: ‘Matahari, berhentilah di atas Gibeon dan engkau, bulan, di atas lembah Ayalon!’” Sudah banyak sekali penjelasan tentang teks ini dari pihak-pihak konservatif fundamentalis yang menggunakan cara penafsiran harafiah. Mereka menunjukkan bagaimana dalam suatu masa tertentu bukti-bukti arkeologis dan cerita-cerita rakyat menunjukkan bahwa memang bumi pernah mengalami malam yang panjang. Kesimpulannya: [1]
The upshot is that there appears to be solid evidence from the Bible and from folklore around the world that there was one day which, depending upon geographical location, presented the inhabitants of the earth with an unusually long span of daylight or night. Attempts to explain this phenomenon by naturalistic means have all failed because no mechanism known to physics can absorb the earth’s spin energy and momentum (or the universe’s from a geocentric point of view) in such a short period of time without causing great upheavals such as the oceans spilling over the continents. Agnostic or atheistic scholars choose not to deal with the ancient witnesses. Such a phenomenon as Joshua’s long day can only happen with divine intervention. But then science does not claim to have all the answers: its authority is found wanting. Is the Bible, then, the final authority after all? Not if God said that the sun stopped when it was actually the earth which ceased to rotate. And that brings us to the heart of the matter.
Attempts to phenomenalize Joshua’s long day or to make it allegorical thus fail. Christians and Jewish people are presented with a real historical event in Joshua 10:12-14. The central issue from their perspective is that of inerrancy of the Bible. God wrote in verse 13 that the “sun stood still and the moon stayed.” God either meant what he wrote, or he did not. There is no excuse for God because he is the God of truth; therefore all things he says and does must reflect that fact. So God cannot utter an untruth and we must conclude that the Bible teaches, in Joshua 10:13 and else where [sic], that the universe rotates around the earth once per day, carrying the sun, moon and stars with it, regardless of what introductory astronomy texts may say. We shall see later that the advanced texts belie the introductory texts on the matter of the rotation of the earth. For the time being, the choice is either the Bible or the introductory astronomy texts: which do you believe?
Nah, apa yang akan terjadi apabila matahari dan bulan benar-benar berhenti beredar seperti yang digambarkan oleh Kitab Yosua? Penjelasan dari ilmuwan berikut ini akan menolong kita: [2]
For the earth to suddenly stop rotating would certainly involve a major miracle. It violates the principle of conservation of angular momentum of rotating bodies, a fundamental law. The kinetic energy of a rotating body like the earth cannot just disappear; it must continue to exist; the energy needed somewhere to go. Clearly a miracle is needed, if the earth’s rotation stopped, and then began again.
The earth’s diameter is several kilometers greater at the equator, than at the poles, because of the effects of rotation. What would maintain the equatorial bulge, if rotation stopped?
The moon, also, cannot simply stop in its orbit; it would fall towards the earth. So a miracle was involved, to keep the moon up when it stopped, and for it to resume its orbital motion.
The ocean waters have momentum, and if the earth’s crust beneath them suddenly stopped, the waters of the oceans would overflow the eastern coasts of the continents, in mighty tidal waves traveling hundreds of km per hour. This would be a catastrophe probably greater in scale than even the world wide flood of Noah’s time! Similar flooding on the western coasts would likely occur when rotation resumed. But geologic evidence for such events has not been found.
The atmosphere has momentum, and if the earth’s crust suddenly stopped, winds of hundreds of km per hour would cause devastation around the earth, but such drastic events do not appear to have happened, so miracles must be invoked by those who believe the story of Joshua’s long day, to prevent all the widespread destruction.
For the ocean waters to remain in the ocean basins would requite the miraculous suspension of the law of inertia that applies to every particle in the oceans. Similarly, if the earth’s atmosphere did not keep revolving eastward when the earth stopped, countless miracles are needed; one for every single molecule of air!
Sudah tentu, kelompok-kelompok fundamentalis akan mengatakan bahwa memang Allah menciptakan mujizat dan dengan demikian cerita itu harus diterima sebagaimana adanya. Namun penjelasan itu sulit diterima, sebab kalau demikian halnya maka mungkin kita harus menjelaskan segala sesuatu dengan mujizat saja, dan ilmu pengetahuan pun tidak lagi dibutuhkan.
Karena itu, tampaknya akan lebih mudah dijelaskan apabila ucapan Yosua ini memang harus ditafsirkan secara simbolik, dan bukan ucapan yang logis dan gamblang.
Saksi
Jadi, saya meragukan bahwa kita bisa menggunakan prinsip yang dikatakan oleh Hai Hai bahwa “Alkitab ditulis dengan prinsip: Logis, gamblang, sistematis, akurat, tegas, dan konsisten serta dua saksi.” Ada banyak tulisan di dalam Alkitab yang tidak jelas apakah ada saksinya atau tidak. Perjumpaan Yesaya dengan YHWH di dalam Bait Suci yang digambarkannya “duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci….” tampaknya tidak memiliki saksi. Ini adalah pengalaman pribadi Yesaya yang digambarkan dan diberitakannya kepada bangsa Yehuda.
Sebuah contoh lain, ketika kitab-kitab Hikmat dibuat, seperti Amsal, Pengkhotbah, dan Kidung Agung, rasanya disusun tanpa melibatkan saksi. Dan tampaknya memang tidak dibutuhkan saksi. Kalaupun kitab-kitab itu kemudian disebut sebagai hasil karya Salomo, itu pun tidak ada saksi yang bisa membuktikannya, karena kemungkinan nama Salomo memang hanya digunakan untuk memberikan kewibawaan kepada kitab-kitab itu.
Tegas
Soal ketegasan juga membangkitkan keraguan. Ada beberapa teks yang menimbulkan keraguan karena memang teks-teks itu tidak begitu jelas. Contohnya, siapakah yang mendengar suara Allah dari surga ketika Yesus dibaptiskan? Ketiga Injil Sinoptik memberikan penjelasan yang berbeda:
Matius 3:16-17 — Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.”
Markus 1:9-11– Pada waktu itu datanglah Yesus dari Nazaret di tanah Galilea, dan Ia dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes. Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya. Lalu terdengarlah suara dari sorga: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.”
Lukas 3:21-22 — Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa, terbukalah langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.”
Kisah Markus dan Lukas tampaknya menunjukkan bahwa suara itu hanya didengar oleh Yesus, sementara Matius menggambarkan bahwa suara itu didengar oleh semua orang yang hadir menyaksikan pembatisan-Nya. Jadi manakah dari kisah-kisah ini yang benar?
Sebuah contoh lainnya, Titus 2:13 yang berbunyi “dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus.” Apakah maksud dari kata-kata ini? Teks aslinya dalam bahasa Yunani berbunyi, “προσδεχόμενοι τὴν μακαρίαν ἐλπίδα καὶ ἐπιφάνειαν τῆς δόξης τοῦ μεγάλου Θεοῦ Σωτῆρος ἡμῶν Χριστοῦ Ἰησοῦ”
Teks ini seringkali digunakan untuk menegaskan keilahian Yesus. Para pakar konservatif akan mengatakan bahwa di sini Paulus tegas-tegas mengakui bahwa Allah yang Mahabesar itu adalah sama dengan Yesus sang Juruselamat. [3]
Granville Sharp, seorang filantropis dan peneliti Kitab Suci dari Inggris mempelaari aspek bahasa Yunani dengan maksud membuktikan keilahian Yesus. Dalam upaya itulah ia “menemukan” aturan sintaksis bahasa Yunani yang sebelumnya tidak dikenal. Sejak itu argumen ini disebut sebagai Aturan Granville Sharp. Sharp menggunakan aturan ini kepada delapan ayat, termasuk Titus 2:13 untuk menunjukkan keilahian Yesus dan membuktikan kesahihan argumennya.
Sharp mengaku bahwa ia menemukan sebuah “aturan” baru yang sebelumnya tidak disadari oleh para pakar bahasa Yunani sampai beberapa ribu tahun. Menurut Sharp, dua kata benda, yaitu Allah yang Mahabesar dan Yesus Juruselamat menggunakan kasus yang sama, dengan jumlah dan gender yang sama, dengan artikel definit yang sama, dan dihubungkan dengan kata penghubung kai (“dan”) sehingga jelaslah bahwa kedua-duanya adalah satu “orang” yang sama. Masalahnya, penemuan Sharp itu tidak selamanya membuktikan bahwa kedua pihak yang dihubungkan dengan cara itu adalah pihak atau orang yang sama. Dalam Matius 5:20 kita menemukan ayat berikut:
Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Dalam ayat ini para ahli Taurat dan orang Farisi juga memiliki kasus yang sama, jumlah dan gender yang sama, dengan artikel definit yang sama, dan dihubungkan dengan kata penghubung kai, namun kita tahu bahwa keduanya tidak sama, melainkan dua kelompok yang berbeda. Karena itu, Aturan Granville Sharp tidak bisa diterima, dan Allah yang Mahabesar memang tidak sama dengan Yesus sang Juruselamat.
Prasangka dalam Membaca
Hai Hai mengatakan bahwa ia membaca Alkitab tanpa prasangka, dan membiarkan Alkitab berbicara langsung apa adanya kepada dirinya sendiri. Ini adalah pendekatan yang biasa digunakan oleh para apologet konservatif yang meyakini bahwa Alkitab bisa menjelaskan dirinya sendiri.
Para pakar hermeneutika akan menolak pernyataan ini. Bila pendekatan ini diterima, maka kita akan menghadapi kesulitan ketika kita berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, seperti misalnya antara Kitab Raja-raja dan Kitab Tawarikh. Kitab 2 Sam 24:9 mengatakan bahwa hasil sensus Israel adalah 800.000, dan Yehuda 500.000 orang yang bisa ikut berperang. Namun menurut 1 Taw. 21:5, angka ini dikoreksi sehingga di Israel terdapat 100.000 sementara di Yehuda 470.000 orang. Menurut 2 Sam. 24:24, Daud membayar 50 syikal perak untuk tempat pengirikan dan lembu-lembu di tempat itu, sementara 1 Taw. 21:25 mengoreksinya menjadi 600 syikal emas.
Para pakar hermeneutika menyatakan tidak mungkin seseorang tidak menafsirkan sesuatu dan tidak mungkin Alkitab atau apapun juga dibaca tanpa prasangka. Contoh lainnya yang sangat jelas dalam dunia modern adalah kisah yang disampaikan oleh Don Richardson, seorang misionaris Amerika Serikat yang berjumpa dengan suku Sawi di Papua dan mengalami kesulitan ketika harus menjelaskan kisah Yesus yang dikhianati Yudas. Ketika sampai pada kisah tentang Yudas, suku itu malah menganggap Yudas sebagai pahlawan.[4]
Hans Georg Gadamer mengatakan bahwa dalam hermeneutika (baca: “menafsirkan suatu bacaan”) terjadi dialog antara teks dengan si pembaca.[5] Itulah sebabnya sebuah teks bisa berbicara lain bagi orang lain.
Paul Ricouer, seorang filsuf dan pakar hermeneutika, memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai “hermeneutics of suspicion” atau “hermeneutika kecurigaan”. Menurut Ricouer wacana selalu menyingkapkan tapi pada saat yang sama juga menyembunyikan sesuatu tentang hakikat sebuah keberadaan. Menurut Ricoeur subyektivitas tertanam di dalam diri manusia dan dunia kebendaan, dan bahasa berada dalam tatanan kedua artikulasi. Dengan kata lain, wacana atau artikulasi harus selalu dicurigai.[6]
Contoh, kata “diamankan” dalam bahasa Indonesia jelas tidak boleh ditafsirkan bahwa orang yang dikenai perlakuan itu akan “aman”. Contoh lainnya, kata “harga disesuaikan” tidak pernah berarti harga menjadi turun, disesuaikan dengan penurunan harga-harga barang di dunia. “Disesuaikan” di sini selalu berarti “naik”. Mengapa pemerintah tidak menggunakan saja kata “harga naik”? Alasannya jelas, bila rakyat terus-menerus mendengar harga naik, lama-kelamaan mereka akan marah karena penderitaan mereka betul-betul nyata di dalam hidup mereka. Hal ini tentu berbahaya.
Masalah penerjemahan
Hai Hai mempermasalahkan penerjemahan, khususnya Alkitab oleh LAI. Sebagai seseorang yang banyak bergelut dengan penerjemahan, saya tahu betul kesulitan di dalam penerjemahan. Dalam bahasa Italia ada sebuah ungkapan yang berbunyi, traduttore, tradutire. Artinya secara harafiah adalah “penerjemah adalah pengkhianat”, atau “menerjemahkan berarti mengkhianati”. Maksud dari ungkapan ini adalah bahwa setiap karya terjemahan tidak mungkin benar-benar menerjemahkan kata aslinya. Setiap terjemahan selalu menambahkan atau mengurangi sesuatu. Hal itu dilakukan ada kalanya karena pertimbangan praktis, keindahan bahasa, agenda si penerjemah, atau kesulitan mencari padanan yang sama.
Sebagai contoh, penerjemah Muslim tidak akan pernah menerjemahkan “Bible” menjadi “Alkitab”. Yang mereka lakukan adalah menerjemahkannya menjadi “Bibel”. Begitu pula istilah “Allah Bapa” tidak akan pernah kita temukan di dalam terjemahan-terjemahan yang dilakukan oleh penerjemah Muslim. Mereka pasti akan menggunakan istilah “Tuhan Bapa”. Mengapa? Jelas karena bagi mereka yang disebut “Alkitab” adalah Al Quran. Dan istilah Allah Bapa adalah sebuah hujat bagi Allah. Karena itulah mereka akan memilih terjemahan Tuhan Bapa.
Saya berikan sebuah contoh yang lain. Kata “conversion” biasanya diterjemahkan menjadi “pertobatan”. Sekarang mari kita lihat contoh-contoh kalimat di bawah ini:
The Conversion of Paul the Apostle, was, according to the New Testament, an event that took place in the life of Paul the Apostle which led him to cease persecuting early Christians and to become a follower of Jesus.
Terjemahan: Pertobatan Rasul Paulus, menurut Perjanjian Baru, adalah sebuah peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Rasul Paulus yang membuat dia berhenti menganiaya orang-orang Kristen perdana dan menjadi pengikut Yesus.
My conversion began as the result of a challenge by a Muslim to read the Quran in order for us to have a debate on the position of. I held the stereo typical view of Muslim women as being oppressed and in a bad position relative to their Christian counterparts.
Terjemahan: Pertobatan saya dimulai sebagai akibat dari tantangan oleh seorang Muslim untuk membaca Al Quran agar kami dapat berdebat tentang posisinya. Saya memegang pandangan stereotip tentang perempuan Muslim yang ditindas dan berada dalam posisi yang relatif buruk dibandingkan dengan rekan-rekan Kristen mereka.
Di sini saya mau membahas dua masalah yang diangkat oleh Hai Hai. Pertama adalah masalah atau agenda si penerjemah. Saya tidak suka menggunakan kata “tobat” atau “pertobatan” untuk menerjemahkan kata “conversion”. Mengapa? Contoh di atas jelas. Pertobatan biasanya kita gunakan untuk menerjemahkan kata “metanoia” dalam bahasa Yunani – yaitu dari keberadaan yang buruk, jahat, kepada keberadaan yang lebih baik, keselamatan, perubahan 180 derajat dari kehidupan lama menuju kehidupan baru.
Sekarang, bagaimana dengan contoh kalimat yang kedua, yaitu konversi seorang Kristen ke Islam? Sebagai seorang Kristen saya meyakini bahwa Kekristenan adalah iman yang benar, dan bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat satu-satunya. Lalu, apakah saya akan mengatakan bahwa orang Kristen yang pindah ke Islam ini juga mengalami “pertobatan”? Karena itulah, saya lebih suka menerjemahkan kata “conversion” dengan kata “perpindahan agama” atau “konversi” saja yang saya pikir lebih netral, dan tidak mengandung nilai-nilai agama tertentu. Dalam sebuah tulisan yang bersifat rohani Kristen, tentu saya akan menggunakan kata “pertobatan”.
Berikutnya, dengan contoh di atas, saya juga akan lebih aman bila saya tidak menerjemahkan kata “conversion” sebagai kata benda, melainkan menjadikannya kata kerja. Misalnya, saya mungkin akan menerjemahkan kalimat di atas menjadi sbb.:
Saya pindah ke Islam setelah saya ditantang oleh seorang Muslim untuk membaca Al Quran agar kami dapat berdebat tentang posisinya. Saya memegang pandangan yang stereotip bahwa perempuan Muslim ditindas dan berada dalam posisi yang buruk, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang beragama Kristen.
Dalam contoh di atas, tampak beberapa kali saya mengubah kata benda menjadi kata kerja. Hal ini saya lakukan juga antara lain untuk memperlancar terjemahan sehingga pembaca akan merasa terbantu di dalam membacanya.
Evolusi bahasa
Hal berikut yang perlu diingat ialah bahwa bahasa mengalami evolusi. Itulah sebabnya Lembaga Alkitab di seluruh dunia selalu mengerjakan kembali terjemahan-terjemahannya, dengan harapan bahwa bahasa yang dipergunakan bisa lebih dipahami oleh generasi yang ada sekarang ini. Alkitab bahasa Inggris, misalnya. King James Version dibuat pada tahun 1611, American Standard Version dibuat pada tahun 1901, Revised Standard Version pada 1952, New International Version pada 1973, dan Revised NIV pada 2011, dan New RSV terbit pada 1989. Sementara itu, Terjemahan Baru (TB) Alkitab bahasa Indonesia terbit pada 1974. Artinya, usianya sudah 40 tahun, padahal kebanyakan Alkitab direvisi dalam 25 tahun. Karena itulah, bukan mustahil kata-kata yang dipergunakan dalam terjemahan 40 tahun yang lalu itu sudah mengalami perubahan, tanpa kita menyadarinya sepenuhnya.
Kesulitan terjemahan
Ada banyak kesulitan yang dihadapi oleh penerjemah sehingga terjemahan tidak bisa dibuat kata demi kata. Misalnya, kata “Kindergarten” dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi “Taman Kanak-kanak di dalam bahasa Indonesia. Namun dalam bahasa Inggris terjemahan yang seringkali digunakan adalah “preschool”, bukan “children garden”.
Terjemahan harafiah yang kita gunakan hafal “di luar kepala” seringkali kita terima begitu saja. Padahal itu terjemahan yang buruk dari bahasa Belanda “uit de kop”, yang maksudnya adalah orang akan mampu memberikan jawaban tanpa membuka buku, melainkan bahwa ia mampu memberikan jawaban yang benar dan tepat begitu saja dari ingatannya.
Sebuah contoh lain tentang terjemahan harafiah yang terkenal di kalangan para penerjemah adalah kalimat “roh memang penurut, tetapi daging lemah” dari Markus 14:38. Ketika diterjemahkan dengan mesin, terjemahan yang diperoleh menjadi спирт, конечно, готов, но мясо протухло (spirt, konechno, gotov, no myaso protukhlo) atau “Vodkanya bagus, tetapi dagingnya busuk”, ketimbang дух бодр, плоть же немощна (dukh bodr, plot’ zhe nemoshchna).
Kesulitan lain yang sering dihadapi oleh penerjemah ialah ketika kalimat yang ditemukannya sangat panjang – seperti yang biasa terjadi dengan tulisan-tulisan dalam bahasa Jerman. Ketika saya menerjemahkan buku “Mengenang Perempuan Itu”, seringkali saya harus memotong-motong kalimatnya menjadi dua atau tiga kalimat, untuk menolong saya sendiri serta pembaca bahasa Indonesia dalam memahaminya.
Sekarang, coba lihat kalimat di bawah ini, dan perhatikan, apakah mungkin kita menerjemahkan kata benda tetap sebagai kata benda, kata kerja sebagai kata kerja, dll.
I shall not argue against it from the supposed impossibility of infinite succession, barely and absolutely considered in itself; for a reason which shall be mentioned hereafter: but if we consider such an infinite progression, as one entire endless series of beings can have no cause from without, of its existence; because in it are supposed to be included all things that are or ever were in the universe: and ’tis plain it can have no reason within itself, of its existence; because no one being in this infinite succession is supposed to be self-existent or necessary (which is the only ground or reason of existence of any thing, that can be imagined within the thing itself, as with presently more fully appear), but every one dependent on the foregoing: and where no part is necessary; ’tis manifest the whole cannot be necessary; absolute necessity of existence, not being an outward, relative, and accidental determination; but an inward and essential property of the nature of the thing which so exists.
Kalimat di atas terdiri dari 170 kata. Rasanya tidak mungkin kita menerjemahkannya dengan mengikuti begitu saja bentuk kalimat seperti aslinya.
Kesulitan yang biasa muncul dalam terjemahan ialah ketika penerjemah harus menerjemahkan puisi. Contohnya puisi berikut:
Are you the bubble-bubble gum?
Are you the jumble-jumble hum?
Are you the rumble-rumble drum?
Well, folks
Poems are serious jokes
Just say those nonsense words
And sing with the mocking birds
Penerjemahan puisi tidak hanya membutuhkan ketepatan kata, tetapi juga kebutuhan untuk mempertahankan irama, nada, dll. Ketika puisi itu diterjemahkan ke dalam lagu, masalahnya menjadi lebih sulit lagi, karena kata-kata dalam bahasa Indonesia terkenal panjang-panjang sementara dalam bahasa Inggris jauh lebih pendek.
Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia sendiri juga punya banyak masalah. Bahasa selalu menyiratkan citarasa. Ada kata-kata yang diperkenalkan oleh Pusat Bahasa Indonesia, namun ternyata tidak laku, karena bunyinya tidak indah. Contohnya kata “mangkus” dan “sangkil” sebagai ganti efektif dan efisien. Kedua kata itu tidak pernah populer.
Secara singkat saya ingin mengkritik apa yang dikatakan oleh Hai Hai bahwa terjemahan LAI ngaco-belo. Saya yakin para pakar bahasa di LAI tidak sembarangan menerjemahkan Alkitab. Ada banyak pertimbangan yang digunakan ketika seseorang membuat penerjemahan. Tidak sekadar mengganti kata benda dengan kata benda dan kata kerja dengan kata kerja. Penerjemahan seperti itu hanyalah penerjemahan mesin, dan itu bukan penerjemahan yang baik. Penerjemahan yang baik – seperti juga hermeneutika – juga adalah sebuah seni dalam memilih kata dan menyusun kalimat. Itulah sebabnya dalam bahasa-bahasa Romans, misalnya, kata kerja bisa ditempatkan di mana saja – di depan, di tengah, di belakang, tergantung tekanan yang mau diberikan kepada makna kalimatnya dan keindahan yang ingin dicapai.
Elohim dan Yahweh
Hai Hai dengan tepat menunjukkan adanya perbedaan dalam penggunaan kata Elohim dan Yahweh. Di sini memang kita menjumpai persoalan yang tidak mudah bagi kebanyakan warga jemaat yang tidak menyadari kompleksitas agama Israel kuno. Dalam sejumlah teks memang kita menemukan gambaran Allah dengan allah-allah lain. Sementara dalam teks-teks lainnya, seperti misalnya kisah Elia dan nabi-nabi Baal, kita menemukan perang tanding antara Yahweh melawan dewa-dewa Baal atau allah-allah palsu.
Para pakar umumnya setuju bahwa agama Israel kuno berkembang dari politeisme menuju monoteisme dengan melewati henoteisme. Dalam Mazmur 82:1, misalnya, dikatakan, “Allah berdiri dalam sidang ilahi, di antara para allah Ia menghakimi…” Dalam Kej. 1:26 Allah berkata, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita …”. Bagaimana menerjemahkan teks ini? Sebagian penafsir mengatakan, inilah gambaran tentang Trinitas – Allah Bapa berbicara kepada Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Bila pemahaman ini diterima, ini bukan doktrin Trinitas melainkan Triteisme. Yang lain mengatakan, kata “Kita” di sini adalah sebutan yang biasa dipakai oleh raja. Jadi, ini majestic plural atau Royal we. Namun, apabila kita memahami bahwa agama berkembang dan mengalami evolusi – seperti yang dikatakan oleh Robert Bellah, seorang pakar sosiologi agama dari Universitas Berkeley – maka akan lebih sederhana bila kita mengatakan bahwa memang agama Israel kuno memang berevolusi dari politeisme menuju monoteisme. Pergulatan ini menjadi semakin intensif ketika beberapa raja Israel sepertinya mundur kembali kepada politeisme, seperti yang dilakukan oleh Ahab dan Izebel.
Alam Roh
Hai Hai menunjukkan pemahamannya yang cukup mendalam tentang tradisi dan filsafat Tionghoa. Hai Hai mengecam Eku Hidayat yang mengaku bisa meminta roh meramalkan skor pertandingan bola. Ia juga mengecam Eku yang menganggap upacara slametan sebagai esbuah penyembahan kepada roh-roh. Hai Hai mengecam serangan Eku Hidayat terhadap orang-orang yang mendoakan orang mati dan memberikan bekal kepada roh orang yang sudah mati berupa uang surga, rumah-rumahan, antena parabola, dll.
Hai Hai mengecam orang-orang seperti Harun Jusuf yang menolak dan bahkan mengejek praktik shio di kalangan orang Tionghoa. Ia menunjukkan bahwa Harun tidak mengerti makna shio dan penggunaannya yang luas dalam kehidupan sehari-hari orang Tionghoa. Menurut Harun, shio menunjukkan karakter dan nasib seseorang.
Hai Hai menolak penjelasan Daud Tony yang mengatakan bahwa David Copperfield bekerja sama dengan roh dengan santet untuk melenyapkan patung Liberty.
Masih banyak lagi upaya-upaya yang dilakukan oleh Hai Hai untuk menolak klaim-klaim yang dilakukan oleh para pendeta yang mengaku pernah banyak bergaul dengan alam gaib dan mereka yang mengecam tradisi Tionghoa.
Pada bagian ini saya harus mengakui bahwa saya banyak sekali setuju dengan Hai Hai. Saya merasa banyak sekali orang yang tidak memiliki pemahaman yang cukup mendalam tentang tradisi Tionghoa dan kemudian begitu saja menyerang dan menganggapnya sebagai kekafiran dan takhyul. Begitu pula, banyak orang yang tidak mengerti trik-trik yang digunakan oleh para pesulap dan ilusionis untuk mengelabui para penontonnya.
Tentang patung Liberty, misalnya, saya menemukan penjelasan ini di internet:
Penonton dapat menyaksikan patung Liberty melalui tiang-tiang. Layar kemudian dinaikkan untuk menghalangi pandangan para penonton. Para penonton ditempatkan pada sebuah panggung rahasia yang berputar perlahan-lahan ke pinggir patung. Lampu-lampu di patung Liberty dimatikan, kelap-kelip pada radar adalah bagian dari animasi video. Kemudian layar diturunkan, penonton di lokasi maupun mereka yang menyaksikan lewat televisi melihat bahwa patung itu sudah lenyap. Namun yang mereka lihat adalah duplikat lampu-lampu yang ditempatkan tepat di samping patung Liberty yang sebenarnya. Lampu-lampu pada kedua menara dihadirkan untuk membutakan penonton selama beberapa menit sehingga mereka sulit melihat patung Liberty. Kemudian layar diangkat dan penonton diputar kembali kea rah patung Liberty. Layar diturunkan dan patung itu sudah muncul kembali.
Saya juga pernah menyaksikan pertunjukkan Copperfield di layar televisi ketika ia mengajak penonton di rumah untuk ikut bermain magic dengannya. Kepada penonton diberikan sebuah lingkaran dengan angka-angka, dan setiap orang diminta untuk menunjuk kepada nomor yang manapun juga. Lalu Copperfield memerintahkan kita maju atau mundur beberapa langkah. Anehnya, pada akhirnya kita akan tiba pada nomor yang sama dengan nomor yang dipilih Copperfield.
Rahasianya ternyata sederhana sekali. Semua ini menggunakan rumus-rumus matematika tertentu yang dibuat sedemikian rupa sehingga nomor berapapun yang kita tunjuk, pada akhirnya akan sama dengan nomor yang dipilih Copperfield.
Singkatnya, dunia kita menyimpan banyak sekali rahasia yang belum tersingkapkan oleh otak kita yang sederhana. Pengetahuan yang dikembangkan di Tiongkok ribuan tahun yang lalu menunjukkan tingkat kemajuan manusia yang luar biasa, sehingga sungguh naïf kalau kita mengikuti penjelasan-penjelasan para pendeta yang diserang oleh Hai Hai. Dan semua ini menunjukkan betapa besarnya kuasa Allah. Allah tidak hanya bekerja di kalangan umat Israel dan orang Yahudi saja, melainkan juga di antara bangsa-bangsa lain. Kitab Yesaya, misalnya menyatakan bahwa Allah juga bekerja di antara bangsa Persia, menunjuk Koresy sebagai mesias-Nya (45:1). Kitab-kitab hikmat yang kita temukan di luar kanon Yahudi dan Kekristenan, saya yakini juga merupakan hasil kerja Allah yang membimbing bangsa-bangsa lain kepada kebenaran-Nya.
Kesimpulan
Dalam banyak posisi tentang teologi dan pemahaman Alkitab saya berbeda paham dengan Hai Hai. Saya pikir ini disebabkan saya sudah sempat mengenyam sedikit pendidikan teologi dan biblika dan pengetahuan itu membuat saya berpandangan berbeda dengan Hai Hai.
Namun dalam pemahaman tentang para pendeta yang menyerang tradisi Tionghoa dan dunia sulap, saya setuju dengan Hai Hai. Saya rasa terlalu cepat dan gegabah bila kita mengatakan bahwa orang-orang itu bekerja dengan dukun dan santet. Ada masih banyak penjelasan yang harus dan bisa digali secara ilmiah.
Jakarta, 5 Februari 2014
NB.
*Makalah ini diajukan dan untuk konsumsi pada diskusi buku Bengcu Menggugat Teologi Alam Roh pada Rabu 12 Februari 2014 di Yakoma-PGI Jalan Cempaka Putih Timur yang diselenggarakan oleh Kebuncerita.com.
**Stephen Suleeman, Th. M, dosen STT Jakarta.
[1] Joshua’s Long Day, dalam http://www.geocentricity.com/astronomy_of_bible/jld/, diunduh 4 Februari 2014.
[2] Douglas E. Cox, “Did Earth’s Rotation Stop on Joshua’s Long Day?” dalam http://www.sentex.net/~tcc/joshua.htm, diunduh pada 4 Februari 2014.
[3] David Maas, “Does Paul call Jesus “God” in Titus 2:13?” dalam http://www.gospeltoallnations.org/Does_Paul_call_Jesus_God_in_Titus_2__13-web.htm, diunduh pada 31 Maret, 2014.
[4] Don Richardson, Peace Child. Ventura, CA, Regal Books, 2005.
[5] G.D. Robinson, “Paul Ricoeur and the Hermeneutics of Suspicion: A Brief Overview and Critique” dalam PREMISE, Vol. II, No. 8 27 September 1995, 12.
[6] Brian Leiter, “Hermeneutics of Suspicion: Recovering Marx, Nietzsche, and Freud”, dalam http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=691002, diunduh 4 Februari 2014.
Hai hai: Untuk membeli buku Bengcu Menggugat Teologi Alam Roh Di Mata Seorang Tionghoa Kristen” silahkan SMS ke 0852 8455 6636. Harga Rp. 79.000,- + Ongkos kirim.
Tulisan ini Copy Paste dari Kebun Cerita.com
Ada. sms saja ke 085284556636
Kalau memang cuma dari alkitab sumbernya kenapa butuh internet, kenapa butuh bahasa lain selain bahasa indonesia memangnya alkitab beda isinya dalam tiap bahasa. Selama masih bukan hanya dari alkitab sumbernya dan tanpa bimbingan roh kudus, isi beng2 hanya bualan juga, karena pikiranmu adalah berhalamu. Arti bahasa bisa dimanupulasi tapi bimbingan roh kudus tidak.
Bimbingan Roh Kudus. Bukankah semua pendeta MENGAKU mendapat bimbingan Roh Kudus? bukankah Iin Tjipto mengaku dibimibing Roh Kudus? Bukankah 6 Hamba Tuhan mengaku dibimbing roh Kudus? bukankah anda mengaku dibimbing roh Kudus? Bukankah pdt. Dr Stephen Tong mengaku dibimbing oleh Roh Kudus? Kenapa ajaran orang-orang yang saya sebutkan itu BERBEDA-BEDA? kisanak, MENGAKU DIBIMBING oleh Roh Kudus adalah HOAX. Yang kit amiliki saat ini HANYA Alkitab. Itu sebabnya anda harus BACA alkitab.