
Ada lima agama yang diakui oleh Republik Tiongkok (1912–1949) dan Republik Rakyat Tiongkok (1 Oktober 1949) secara resmi yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Dao, namun Khonghucu tidak diakui sebagai AGAMA namun FILSAFAT (Khonghucuisme).
Aneh bin ajaib! Itu sebabnya walaupun Khonghucu diakui oleh NKRI sebagai AGAMA namun sampai hari ini banyak orang Tionghoa Indonesia yang mengolok-olok umat Khonghucu mengada-ada karena yang disebut AGAMA KHONGHUCU itu tidak ada karena yang ada hanya Khonghucuisme alias FILSAFAT khonghucu alias etika Khonghucu.
Makanya banyak Tionghoa Indonesia yang mengaku dirinya umat DAO sambil mengagul-agulkan agamanya telah dianut Tiongkok lebih dari 3000 tahun yang lalu akhirnya gigit jari sambil menggertak gigi menahan amarah saat diejek sebagai penganut, “Tung tung jeng” karena nggak becus menjelaskan apa yang dikatakan pendeta Dao saat memimpin sembahyang orang mati?
Oleh karena itu, Pdt Arliyanus Larosa, orang Nias, dari GKI (Gereja Kristen Indonesia) dipimpin oleh Roh Kudus dalam nama Yesus demi Kemuliaan Allah MEMBUAL, “Khonghucu baru muncul sekitar 500 tahunan sebelum masehi, … Begitu juga Buddha yang baru muncul tahun 65 Masehi …, sedangkan perayaan Imlek sudah ada jauh sebelum agama-agama itu ada di Tiongkok. Nah, karena Imlek bukanlah hari raya agama tertentu melainkan tahun baru Tiongkok maka orang Tionghoa yang beragama Kristen tentu saja dapat merayakannya dengan penuh kegembiraan sambil mengucapkan Xīnnián kuàilè,” dengan takabur.
Bahkan demi menggenapi penghinaannya kepada Tionghoa dan umat Khonghucu, Didi Kwartanada yang notabene adalah orang Tionghoa dan mengaku sejarahwan menyatakan dengan juwawa, “Perayaan Imlek itu sebenarnya merupakan pesta orang Tionghoa. Memang, kemudian terjadi KEKACAUAN pemahaman ketika Imlek dijadikan sebagai hari libur nasional dan disetarakan dengan libur idulfitri untuk orang Muslim, libur Natal untuk orang Kristiani. Dari sinilah tercipta kesan bahwa Imlek berkaitan dengan agama tertentu padahal Imlek sebenarnya adalah KEBUDAYAAN.” Lebih lanjut, “Imlek ini sama seperti orang Jawa mencuci Keris pada saat malam satu Suro. Sesimpel itu saja!” ejeknya, SIALAN!
Kerabatku sekalian, kita semua sudah tahu bagaimana Soeharto mendzolimi Tionghoa Indonesia secara terstruktur, sistematis dan masif selama 31 tahun pemerintahannya lewat Instruksi Presiden (Inpres) No 14 Tahun 1967 dan seluruh ketentuan pelaksananya: Segala bentuk kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat China dianggap NAJIS.
Itu sebabnya banyak Tionghoa yang berusaha menyamarkan dirinya dan menyangkal ikatan leluhurnya. Itu bukan hal baru karena sudah berlangsung sejak purbakala di Nusantara. Bahkan Mpu Prapanca mencatatnya dalam Kakawin Nāgarakṛtâgama dan kita mewarisi gelarnya sampai hari ini. Prapanca dalam bahasa Sanskerta, Raden dalam bahasa Jawa, Làrén 落人 dalam aksara mandarin artinnya ORANG YANG MENYAMARKAN DIRI alias orang yang menghilang dari leluhurnya. Namun dipaksa Raden oleh pemerintah Orde Baru itu sakitnya tuh di sini, bro?!
Di tengah krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, pada tahun 1998 mahasiswa Indonesia melakukan demonstrasi menuntut reformasi. Dalam kondisi demikian SESEORANG menyulut kerusuhan GANYANG CINA dan PERKOSA AMOI untuk memaksa Indonesia DARURAT agar dirinya bisa berlagak PAHLAWAN menyelamatkan Indonesia dengan harapan menjatuhkan Soeharto lalu memaksa MPR (Majelis Permusyaratan Rakyat) mengangkatnya menjadi Presiden. Syukurlah, usahanya gagal walaupun menimbulkan banyak korban. Terkutuklah dia!
Sebelum menjadi ketua NU (Nahdlatul Ulama) Gus Dur sudah BERJUANG membela mereka yang tertindas. Karena kedekatannya banyak Pimpinan NU yang menyebut Matakin (Majelis Tinggi Agama Tionghoa Indonesia) sebagai NU cabang Matakin. Bahkan bersama Bondan Gunawan Gus Dur mendirikan Yayasan Nur Kebajikan untuk memperjuangkan dipulihkannya kembali agama dan kelembagaan Khonghucu yang pada waktu itu mengalami pengekangan oleh negara.
Budi S. Tanuwibowo – Ketua MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) bersaksi kepada CNN Indonesia 18 Feb 2018: 20 October 1999 Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia dan kurang dari seminggu beliau (Gus Dur) masuk Istana, saya dengan seorang teman (Red. Bingky Irawan), pagi-pagi datang ke Istana. Datang ke istana dan kemudian memohon beliau (Red. Gus Dur), subuh ya, mohon beliau untuk agar boleh diadakan perayaan Imlek Nasional oleh UMAT Khonghucu. Nah, apa jawaban beliau? Beliau tidak menjawab ya atau tidak tapi “BIKIN DUA KALI.” Saya bingung, maksudnya Gus? “Bikin perayaan Imlek di Jakarta dan bikin perayaan Cap Go Me di surabaya.”
Tahun Baru Imlek 2551 adalah tahun Naga. Menurut kalender masehi hari itu Sabtu, 5 Februari 2000. Karena Presiden Abdurrahman Wahid menjadikan hari itu libur fakultatif, maka Tionghoa Indonesia pun merayakannya dengan penuh syukur dan terima kasih Gus Dur.
Di Balai Sudirman Jakarta, hari Kamis, 17 Februari 2000. Dalam acara syukuran Tahun Baru Imlek 2551 yang diadakan oleh MATAKIN, disaksikan oleh Ibu Negara Sinta Nuriyah, Wapres Megawati Soekarnoputri dan suami Taufik Kiemas, Ketua MPR Amien Rais dan beberapa pejabat negara sahabat. Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus dur memberi HADIAH kepada umat Khonghucu Indonesia dan Tionghoa Indonesia serta seluruh bangsa Indonesia berupa:
Keppres No 6 Tahun 2000 (17 Januari 2000) yang mencabut Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967 dan semua ketentuan pelaksanaannya sehingga penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina BEBAS dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.
Di dalam pidatonya, Gus Dur mengatakan, “Untuk mengetahui sebuah agama atau tidak, bukan urusan pemerintah sebab yang menghidupkan agama adalah hati manusia, bukan jaminan negara. Sehingga, sebenarnya PENGAKUAN negara terhadap suatu agama merupakan KEKELIRUAN.”
TERIMA KASIH GUS DUR
Segera setelah menerima HADIAH dari Gus Dur, di kalangan Tionghoa muncul para pahlawan KESIANGAN untuk MENCURI kebajikan Gus Dur. Ibarat anjing geladak, mereka saling menggonggong dan menggeram, berlomba mencuri FINISH.
Saling adu lihai melakukan START di balik tikungan, padahal dengan keluarnya Keppres No 6 Tahun 2000 maka perjuangan Gus Dur lewat Yayasan Nur Kebajikan untuk memperjuangkan dipulihkannya kembali agama dan kelembagaan Khonghucu sudah FINISH.
Gus Dur dan Bondan Gunawan (Yayasan Nur Kebajikan) didukung oleh NU telah berjuang tanpa gembar-gembor selama bertahun-tahun itu sebabnya tidak banyak Tionghoa Indonesia yang tahu sepak terjang mereka. Itu sebabnya banyak tung tung cap (Tionghoa tukang ngecap) dan SAN CI PA – 378 artinya PENIPU yang MEMBUAL bahwa dirinyalah yang bekerja PERTAMAX dan paling keras sehingga paling berjasa sehingga Tahun Baru Imlek menjadi Hari Nasional.
Perilaku demikian sangat memalukan. Setelah Menteri Agama mengeluarkan SK Menteri Agama No 13/2001 pada tanggal 19 Januari 2001 tentang Tahun Baru Imlek, UJUG-UJUG muncul SK Menteri Agama TANDINGAN yaitu SK Menteri Agama ATAS NAMA Menteri Agama RI Sekretaris Jendral. Sejak kapan Indonesia punya Menteri Agama RI Sekretaris Jendral? Ha ha ha … GILA lu?
SK Menteri Agama TANDINGAN itu adalah SK Menteri Agama No 14/2001 tanggal 23 Januari 2001 yang Memperhatikan: Surat Ketua Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI) Nomor 059/YLKTI/I/2001 tanggal 19 Januari 2001 hal pemberitahuan hari dan tanggal jatuh tahun baru Imlek.
Gus Dur Marah! Itu sebabnya, agar seluruh dunia tahu kebenarannya, maka dalam acara syukuran Tahun Baru Imlek 2552 yang diadakan tanggal 28 Januari 2001, Gus Dur menyatakan:
“Umat Khonghucu mendapat hak dan perlakuan yang sama dengan penganut agama lain di Indonesia. Bila di masa lalu Agama Khonghucu banyak mendapatkan perlakuan tidak adil, maka dengan Keputusan Presiden No 6 Tahun 2000, semua perlakuan tidak adil itu sudah SEHARUSNYA dihentikan secara TUNTAS.”
Melalui pernyataan tersebut, tegas-tegas Gus Dur memberi peringatan kepada Tionghoa tung tung cap dan Tionghoa 378 agar “STOP!” JANGAN SOK PAHLAWAN karena umat Khonghuculah yang empunya IMLEK. Dan kepada para penguasa dan para politikus serta para pengusaha, “Jangan mengobok-obok umat Khonghucu dan jangan memecah belah Tionghoa Indonesia!”
Untuk menjamin tidak muncul hiruk pikuk PAHLAWAN IMLEK KESIANGAN lagi, Presiden Megawati, setelah menjanjikannya dalam syukuran Imlek Nasional, 17 Februari 2002, beliau lalu mengeluarkan Keppres Nomor 19 Tahun 2002 (9 April 2002) yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional alias hari BESAR agama Khonghucu.
Namun, alih-alih bertobat para tung tung cap dan para 378 justru makin GILA. Itu sebabnya KONON muncullah Keputusan Menteri Agama RI melalui SK No 332 Tahun 2002 tanggal 1 Juli 2002 yang:
MEMUTUSKAN: Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENETAPAN YAYASAN LESTARI KEBUDAYAAN TIONGHOA INDONESIA (YLKTI) SEBAGAI LEMBAGA YANG BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERHITUNGAN HARI DAN TANGGAL TAHUN BARU IMLEK DI WILAYAH INDONESIA
Pertama: Menetapkan Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI) yang berkedudukan di Jakarta, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas perhitungan hari dan tanggal Imlek setiap tahun untuk wilayah Indonesia.
Kedua: Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI) wajib menyampaikan datahari dan tanggal Tahun Baru Imlek setiap tahun kepada Departemen Agama.
Ketiga menyatakan: BIAYA pelaksanaan perhitungan hari dan tanggal Tahun Baru Imlek sebagaimana dimaksud pada diktum pertama dibebankan kepada Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI).
Saya bukan ahli tata negara, itu sebabnya biarlah para ahli hukum yang menguji lalu memberitahu kita apakah SK Menteri Agama tersebut SAH? Kalau SAH, apakah YLKTI sudah melakukan KEWAJIBANNYA selama ini? Ha ha ha …
Kerabatku sekalian, saat ini di Indonesia ada dua PAHLAWAN IMLEK. Yang pertama adalah Gus Dur yang dinobatkan oleh umat Khonghucu dan Tionghoa Indonesia. Yang kedua HANYA dinobatkan oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) yang ada ayam jagonya. Ha ha ha …
Kerabatku sekalian, siapa saja BEBAS merayakan Imlek namun PENJAGA IMLEK Indonesia adalah umat Khonghucu yaitu MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) dan PAHLAWAN IMLEK adalah Gus Dur.
Itu sebabnya untuk menghormati Gus Dur dan mengingatkan kita semua agar selalu INGAT dan rendah hati maka sejak tahun 2000, dalam berbagai syukuran Imlek, Tionghoa Indonesia terpampang berbagai baliho, poster, spanduk, dll:
Imlek menjadi hari nasional Indonesia bukan hasil perjuangan kita namun HADIAH dari Gus Dur. Ingat Imlek, ingat Gus Dur. Berkat Gus Dur Tahun Baru Imlek Kita Rayakan. Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia. Dan lain lain dan lain lain.
Kisanak, anda bebas mengangkat siapa saja jadi PAHLAWAN IMLEK-mu. Pdt Arliyanus Larosa dari GKI? Didi Kwartanada? Ha ha ha … Namun anda juga bebas menggelari mereka SAN CI PA atau 378.