
bordertelegraph
Pernyataan Pastoral PGI Tentang LGBT bukan KEPUTUSAN namun pertimbangan dan ajakan untuk mendalami masalah lebih lanjut guna memberi pokok pikiran dan umpan balik bagi penyempurnaan sikap dan pandangan PGI.
PGI adalah Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia yang sepakat bersatu menjadi Gereja Indonesia Yang Esa. PGI bukan gerakan untuk menyeragamkan atau menjadi satu organisasi apalagi mendominasi seluruh anggotanya namun bertumbuh dalam visi dan misi bersama.
Pertama-tama anda harus membaca Pernyataan Pastoral PGI Tentang LGBT dengan teliti dan hati-hati sampai mengerti benar isinya. Bacalah ayat-ayat Alkitab yang alamatnya tertulis dengan teliti dan hati-hati sampai mengerti isinya. Setelah mengerti benar isinya barulah anda bisa ikut memikirkannya dengan logis dan ilmiah dengan Alkitab sebagai sumber pustaka dan standar kebenaran.
Setelah anda membacanya dan mengerti maka baiklah saya akan menulis blog-blog untuk membahasnya bagian demi bagian. Dengan cara demikianlah kita manggapi Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT tersebut.
Dengan warna anda akan mudah membacanya lebih mudah untuk mengerti alurnya dan bagian-bagian penting di dalamnya.
Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT
Menyikapi kontroversi yang muncul dan berkembang di kalangan gereja-gereja dan di tengah masyarakat menyangkut keberadaan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender), Majelis Pekerja Harian PGI menyampaikan beberapa pertimbangan sebagaimana tertera di bawah.
Disadari bahwa sikap dan ajaran gereja mengenai hal ini sangat beragam, dan pertimbangan-pertimbangan ini tidaklah dimaksudkan untuk menyeragamkannya.
Pertimbangan-pertimbangan ini justru sebuah ajakan kepada gereja-gereja untuk mendalami masalah ini lebih lanjut.
MPH-PGI akan sangat berterima kasih jika dari hasil pendalaman itu, gereja-gereja dapat memberikan pokok-pokok pikiran sebagai umpan balik kepada MPH-PGI untuk menyempurnakan Sikap dan Pandangan PGI mengenai masalah ini.
Pengantar
1. Manusia adalah gambar dan citra Allah yang sempurna. Sebagai citra Allah yang sempurna, manusia memiliki harkat dan martabat yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.
2. Allah menciptakan manusia, makhluk dan segala ciptaan yang beranekaragam dan berbeda-beda satu sama lain. Kita hidup dalam keanekaragaman ras, etnik, gender, orientasi seksual dan agama. Keanekaragaman ini adalah sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang seharusnya bisa kita terima dengan sikap positif dan realistis.
3. Bersikap positif dan realistis dalam keanekaragaman berarti kita harus saling menerima, saling mengasihi, saling menghargai dan saling menghormati satu sama lain.
Bersikap positif dan realistis terhadap keanekaragaman yang Allah berikan berarti kita berupaya memahami dan menerima dalam kasih segala perbedaan yang ada.
Bersikap positif dan realistis terhadap kenekaragaman berarti kita melawan segala bentuk kebencian, ketidakadilan, diskriminasi, eksploitasi dan penindasan terhadap sesama manusia, segala makhluk dan segenap ciptaan Allah.
Sebaliknya kita berupaya mendialogkan segala perbedaan itu tanpa prasangka negatif. Bersikap positif dan realistis berarti kita menjaga dan memelihara persekutuan manusia yang beranekaragam ini agar mendatangkan kebaikan bagi umat manusia, bagi segala makhluk dan bagi bumi ini.
Titik Tolak
4. Membicarakan kaum LGBT adalah membicarakan manusia yang merupakan ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya.
5. Keberadaan manusia dengan kecenderungan LGBT merupakan sebuah fenomena yang ada sejak masa lalu.
LGBT bukan produk kebudayan modern; bukan juga produk kebudayaan Barat. Fenomena LGBT ini ada dalam masyarakat kita dan secara sosio-antropologis LGBT ini sudah sejak dulu diakomodasikan dalam budaya beberapa suku di dalam masyarakat kita.
6. Ketika kita menghadapi persoalan moral, salah satu masalah terbesar muncul dari cara kita melakukan interpretasi terhadap teks Kitab Suci.
Penafsiran terhadap teks Kitab Suci yang tidak mempertimbangkan maksud dan tujuan dari teks yang ditulis oleh para penulis Kitab Suci berpotensi menghasilkan interpretasi yang sama sekali berbeda dari tujuan teks itu ditulis.
Berkenaan dengan LGBT, Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tetapi Alkitab tidak memberikan penilaian moral-etik terhadap keberadaan atau eksistensi mereka. Alkitab tidak mengeritisi orientasi seksual seseorang.
Apa yang Alkitab kritisi adalah perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapa pun, termasuk yang dilakukan kaum heteroseksual, atau yang selama ini dianggap ‘normal’.
Pesan utama ceritera penciptaan Adam dan Hawa (Kejadian 1:26-28; 2:18, 21-24), misalnya, adalah tentang cikal bakal terjadinya institusi keluarga dan bahwa manusia diberi tanggungjawab untuk memenuhi dan memelihara bumi.
Ceritera ini sama sekali tidak ditujukan untuk menolak keberadaan kaum LGBT.
7. Ada beberapa teks lain dalam Alkitab yang diinterpretasikan secara kurang tepat sehingga ayat-ayat itu seolah menghakimi kaum LGBT. Padahal melalui interpretasi yang lebih akurat, kritikan Alkitab dalam ayat-ayat tersebut justru ditujukan pada obyek lain.
Contohnya: Alkitab mengeritisi dengan sangat keras ibadah agama kesuburan (menyembah Baal dan Asyera, Hakim-hakim 3:7; 2Raja-raja 23:4) oleh bangsa-bangsa tetangga Israel pada masa itu, yang mempraktekkan semburit bakti yaitu perilaku seksual sesama jenis sebagai bagian dari ibadah agama Baal itu (Ulangan 23:17-18); demikian juga terhadap penyembahan berhala Romawi di zaman Perjanjian Baru (Roma 1:23-32).
Alkitab juga mengeritisi sikap xenofobia masyarakat Sodom terhadap orang asing dengan cara mempraktekkan eksploitasi seksual terhadap mereka yang sesama jenis. Tujuannya adalah mempermalukan mereka (Kejadian 19: 5-11 dan Hakim-hakim 19:1-30). Oleh karena itu bagian-bagian Alkitab ini tidak ditujukan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan kaum LGBT.
Teks-teks Alkitab lainnya, yang sering dipakai menghakimi kaum LGBT adalah Imamat 18:22; 20:13; 1Kor 6:9-10; 1Tim 1:10). Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab itu adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif, yang dilakukan oleh siapa pun, atas dasar apa pun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapa pun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak.
Rekomendasi
8. PGI mengingatkan agar kita semua mempertimbangkan hasil-hasil penelitian mutakhir dalam bidang kedokteran dan psikiatri yang tidak lagi memasukkan orientasi seksual LGBT sebagai penyakit, sebagai penyimpangan mental (mental disorder) atau sebagai sebuah bentuk kejahatan.
Pernyataan dari badan kesehatan dunia, WHO, Human Rights International yang berdasarkan kemajuan penelitian ilmu kedokteran mampu memahami keberadaan LGBT dan ikut berjuang dalam menegakkan hak-hak mereka sebagai sesama manusia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengacu pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993) bahwa LGBT bukanlah penyakit kejiwaan. LGBT juga bukan sebuah penyakit spiritual.
Dalam banyak kasus, kecenderungan LGBT dialami sebagai sesuatu yang natural yang sudah diterima sejak seseorang dilahirkan; juga ada kasus-kasus kecenderungan LGBT terjadi sebagai akibat pengaruh sosial.
Sulit membedakan mana yang natural dan mana yang nurture oleh karena pengaruh sosial. Meskipun demikian, bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukanlah merupakan pilihan, tetapi sesuatu yang terterima (given).
Oleh karena itu, menjadi LGBT, apalagi yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah suatu dosa, karena itu kita tidak boleh memaksa mereka bertobat.
Kita juga tidak boleh memaksa mereka untuk berubah, melainkan sebaliknya, kita harus menolong agar mereka bisa menerima dirinya sendiri sebagai pemberian Allah.
9. Gereja, sebagai sebuah persekutuan yang inklusif dan sebagai keluarga Allah, harus belajar menerima kaum LGBT sebagai bagian yang utuh dari persekutuan kita sebagai “Tubuh Kristus”.
Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan secara spiritual.
10. PGI menghimbau gereja-gereja agar mempersiapkan dan melakukan bimbingan pastoral kepada keluarga agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT.
Penolakan keluarga terhadap anggota keluarga mereka yang LGBT berpotensi menciptakan gangguan kejiwaan, menciptakan penolakan terhadap diri sendiri (self-rejection) yang berakibat pada makin meningkatnya potensi bunuh diri di kalangan LGBT.
11. Selama ini kaum LGBT mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, dan spiritual karena stigamatisasi agama dan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan dan didiskiriminasi bahkan juga oleh negara.
Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tetapi bahkan harus berjuang agar kaum LGBT bisa diterima dan diakui hak-haknya oleh masyarakat dan negara, terutama hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, perlindungan terhadap kekerasan, hak-hak untuk memperoleh pekerjaan, dan sebagainya.
Para pemangku negara ini harus menjamin agar hak-hak asasi dan martabat kaum LGBT dihormati! Kaum LGBT harus diberikan kesempatan hidup dalam keadilan dan perdamaian.
12. PGI menghimbau agar gereja-gereja, masyarakat dan negara menerima dan bahkan memperjuangkan hak-hak dan martabat kaum LGBT.
Kebesaran kita sebagai sebuah bangsa yang beradab terlihat dari kemampuan kita menerima dan menolong mereka yang justru sedang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan.
Meskipun demikian, PGI sadar bahwa gereja dan masyarakat Indonesia belum bisa menerima pernikahan sesama jenis.
PGI bersama dengan warga gereja dan segenap warga masyarakat masih memerlukan dialog dan percakapan teologis yang mendalam menyangkut soal ini.
Penutup
13. LGBT pada dirinya sendiri bukanlah sebuah persoalan. LGBT menjadi persoalan karena kitalah yang mempersoalkannya. Kitalah yang memberinya stigma negatif.
Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang matang, rendah hati, rasional serta kemampuan bersikap adil dalam menyikapi kasus ini.
Kita harus menjauhkan diri dari kecenderungan menghakimi atau menyesatkan siapa pun.
Sebaliknya, kita harus belajar membangun persekutuan bangsa dan persekutuan umat manusia yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan.
14. Demikianlah pernyataan pastoral ini kami sampaikan pertama-tama kepada gereja-gereja di Indonesia, dan juga kepada masyarakat Indonesia seluruhnya.
Kiranya gereja-gereja terus mengarahkan diri pada tuntunan Roh Kudus untuk memperdalam pemahaman dan memperkuat komitmen iman menyangkut penerimaan kaum LGBT.
Jakarta, 28 Mei 2016
a.n Majelis Pekerja Harian PGI
ooo bagus deh kalau begitu anda juga harus paham juga bagaimana yang namanya kasih itu…. kita harus memahami penerapan kasih terhadap sesama manusia berdasar ayat ini…
13:4 Kasih itu sabar kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu…
apakah anda sabar dalam mengingatkan mereka? apakah anda tidak cemburu karena keberadaan mereka di lingkungan sosial kita? apakah kita berlaku sopan pada mereka? tidak mencari egoisme terhadap diri kita sendiri? apakah kita marah terhadap keberadaan mereka? apakah kita mengingat kesalahan mereka (dalam hal ini lgbt)?, apakah kita bersukacita jika mereka keluar dari lingkungan kita? dsb…
jika perilaku kita semua sudah menjawab apa itu kasih… maka kita akan lebih mengerti bahwa kasih tidak hanya sekedar perilaku memberi atau menasehati… berempati terhadap mereka, menghormati kekurangan mereka, dan menerima mereka apa adanya juga merupakan bentuk kasih kita kepada sesama manusia…. amin saudara
pernahkah kita merasa marah ketika mengingatkan orang lain namun ga digubris? pasti pernah… namun dalam hal ini jika kita merasa marah berarti kita masih belum mengamalkan kesempurnaan kasih itu…
pernahkah kita merasa jijik terhadap perilaku orang yang tidak kita sukai? pasti pernah namun ini juga bukan kasih…
kasih itu dalam sekali… seperti ayat 1 korintus 13:4 dikatakan disana ia menanggung segalanya, ia percaya segalanya dan mengharapkan segala sesuatu dsb….
dalam hal ini saya simpulkan saja pendapat pastoral bisa pro dan kontra ( bisa benar dan keliru di mata orang) namun dalam pengamalan kasih yang sesungguhnya marilah kita terapkan baik kepada kaum LGBT, anggota yang telah membuat pernyataan itu, para umat yang lain dan semua orang…
walau anda tidak setuju dengan hal itu maka amalkan kasih itu…. kita perlu ikut menanggung pernyataan itu demi kebaikan orang-orang di dalamnya…. percayalah bahwa tujuan hal tersebut baik adanya… dan berharap bahwa tindakan yang diambil gereja beremanfaat bagi mereka yang membutuhkan…
kasih harus ditunjukkan bukan dengan dasar ego, mau menang menangan, keberpihakan.. dan memaafkan dosa mereka… bukan ditunjukkan dengan arogansi, kesuperioritasan pendapat dan sebagainya amin
Bro, gue nggak marah kalau peringatan gue nggak digubris sama teman gue yang lgbt. Ya hidup-hidup dia. Kalau gue nggak memperingatkan temen gue itu, gue nanti yang dituntut sama Tuhan:
Yehezkiel 33:7-9
7 Dan engkau anak manusia, Aku menetapkan engkau menjadi penjaga bagi kaum Israel. Bilamana engkau mendengar sesuatu firman dari pada-Ku, peringatkanlah mereka demi nama-Ku.
8 *Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: Hai orang jahat, engkau pasti mati! — dan engkau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu supaya bertobat dari hidupnya, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu*.
9 Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang jahat itu *supaya ia bertobat dari hidupnya*, tetapi ia tidak mau bertobat, ia akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau telah menyelamatkan nyawamu.
Makanya gue akan ingatkan terus temen gue yang lgbt itu. Gue nggak akan marah kalau dia tidak menggubris. Kenapa harus marah? Toh gue nggak untung apa-apa kalau dia tobat. Gue juga nggak rugi kalau dia nggak tobat, orang itu hidup-hidupnya sendiri. Tapi kalau gue disuruh MERESTUI perbuatannya yang adalah percabulan itu, ya ndak bisa. Orang firman Tuhan sudah jelas melarang perbuatan itu. Kalau Paulus malah lebih keras lagi perintahnya:
1 Korintus 5:9-13
9 Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul.
10 Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini.
11 Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama.
12 Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat?
13 Mereka yang berada di luar jemaat akan dihakimi Allah. Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.
1 Timoteus 5:20
20 Mereka yang berbuat dosa hendaklah kautegor di depan semua orang agar yang lain itupun takut.
Nah, itu sudah bagus gue menyimpan rahasia temen gue itu… keluarganya nggak tahu, teman-temannya nggak tahu… karena gue toleran sama dia. Bukankah seharusnya menurut Paulus, orang kayak gitu diperingatkan di depan umum? Terus kalau tetap berkeras dalam dosanya, dijauhi?
baguslah. Yang anda lalukan itu baik sekali.
Bravo PGI !
Saya sealiran utk topik ini.
Pingback: Respon Gereja: PGI & LGBT – Naomi Indah Sari