Hari Jumat sekitar jam tiga sore. Di Yerusalem. Di atas bukit Golgota. Di Atas salib. Sekitar dua ribu tahun yang lalu. Ketika nyawa-Nya terancam Yesus justru berdoa, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu yang dilakukannya.” Sok pahlawan! Sok murah hati! Dua puluh sekian tahun yang lalu, di GKI Cicurug. Beberapa orang jemaat menuntut Pdt. Setiawan Oetama minta maaf atau mereka akan meninggalkan GKI Cicurug. Aneh bin ajaib! Pdt Setiawan minta maaf yang berarti mengakui PELANGGARAN yang tidak dilakukannya. Pengecut! Takut gereja kehilangan uang persembahan! Perlu bertahun-tahun bagi saya untuk bisa memahami tindakan Pdt. Setiawan di GKI Cicurug. Perlu puluhan tahun bagi saya untuk mampu memahami tindakan Yesus di atas kayu salib.
Ketika Yesus berada di atas kayu salib, segala kuasa di bumi dan di sorga diberikan kepada-Nya. Orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang sudah mati ada di hadapan-Nya. Yesus pun mengadili umat manusia dan Dia harus memilih. Menyelamatkan nyawa-Nya atau kehilangan nyawa-Nya karena membenarkan manusia. Membenarkan manusia berarti membenarkan pula tindakan orang-orang yang menyalibkan diri-Nya. Membenarkan tindakan ornag-orang yang menyalib-Nya berarti membiarkan diri-Nya mati. Yesus menjatuhkan VONIS: Tidak bersalah! Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu yang dilakukannya! Karena vonis-Nya tersebut maka tidak ada satu manusia pun yang binasa. Namun Yesus pun binasa!
Ketika dituntut untuk minta maaf atas PELANGGARAN yang tidak dilakukannya. Pada saat itu, Pdt Setiawan dihadapkan pada pilihan untu menjaga gengsinya atau kehilangan rasa hormat karena membenarkan jemaat yang menuntutnya. Membenarkan jemaat yang menuntutnya minta maaf berarti membenarkan jemaat yang memandang rendah dirinya karena minta maaf untuk PELANGGARAN yang tidak dilakukannya. Saya tidak tahu pergumulan dan pertimbangan Pdt Setiawan ketika menghadapi masalah tersebut namun tindakannya konsisten dengan yang selalu diajarkannya dari atas mimbar. Orang rendah hati tidak merendahkan dirinya. Orang rendah hati tidak takut direndahkan. Orang rendah hati tidak rendah diri ketika direndahkan. Melayani yang dilayani. Yang melayani namanya PELAYAN. Yang dilayani disebut TUAN. Pelayan setia tetap melayani dengan tulus meskipun tuan yang dilayaninya menyebalkan sekali. Pdt Setiawan menyebut yang dilakukannya di GKI Cicurug PELAYANAN alias dia MELAYANI. Tindakannya konsisten dengan ucapannya.
Karena tindakan Yesus di atas kayu salib, saya pun menghormati-Nya sebagai Tuhanku (mahatuan). Atas tindakan Pdt Setiawan di GKI Cicurug saya menghormatinya sebagai Pendetaku. Tahun 1986, pada hari minggu yang sama dan kebaktian yang sama, pendetaku men-Sidhi aku dan membaptis Sidhi mamaku. Ketika hendak menikah saya minta izin kepada pendeta GKI Cicurug dan majelis jemaat GKI Cicurug agar diizinkan untuk minta Pdt Setiawan Oetama, pendetaku yang memimpin kebaktian dan memberkati pernikahan kami. Setelah diizinkan maka saya pun ngelunjak dan minta tolong majelis jemaat GKI Cicurug untuk minta izin agar kebaktian pemberkatan nikah kami dilakukan di gereja GKI Samanhudi. Di GKI Samanhudi, 26 Januari 1997, Pdt Setiawan Oetama, pendetaku menikahkanku dengan istriku.
EMERITUS. Semua pendeta GKI akan Emeritus pada umur 60 tahun. Di GKI, Emeritus bukan pensiun. Di GKI Emeritus artinya bebas dari kewajiban namun silahkan bekerja terus. Emeritus artinya tidak memangku jabatan lagi namun terus berkarya. Emeritus adalah GELAR dan STATUS kehormatan bagi seorang Pendeta GKI. 01 November 2012 Pdt Setiawan Oetama pun Emeritus karena genap berumur 60 tahun.
Tiap masa ada orangnya, Tiap orang ada masanya
Pendeta Setiawan Oetama adalah anak keempat suami istri Sudirga Oetama (Ong Gie Liam) dan Sophia Sana yang dilahirkan pada 01 November 1952 dengan nama Ong Hok Liong. Menurut kalender Tionghoa, tahun 1952 adalah tahun Naga. Itu sebabnya Ong Gie Liam menamai anak keempatnya Liong, kata bahasa Hokian, artinya naga. Meskipun bernama Liong namun jalan hidup Setiawan kecil jauh dari perilaku naga. Sejak bayi sakit-sakitan dan lambat sekali pertumbuhannya. Dia baru bisa berjalan saat berumur dua tahun lebih. Saat itu adiknya sudah pandai berlari.
Bagi Setiawan kecil, Situ Lembang yang tidak jauh dari rumahnya adalah salah satu tempat paling mengasykkan di dunia. Dia rajin ke sana untuk memancing. Sampai hari ini memancing tetap menjadi hobynya. Tentang memancing, Setiawan bilang, “Kenikmatan menarik ikan yang makan umpan, nggak ada duanya.” Gereja Pentakosta di Indonesia (GPDI) jalan Jambu, Jakarta yang ada di belakang rumahnya adalah tempat mengasykan lainnya. Setiawan suka ke sekolah Minggu karena terpukau dengan cerita-cerita Alkitab yang diceritakan oleh guru-guru sekolah minggunya. Nampaknya, pengalaman masa kecilnya itulah yang menjadikan Pendeta Setiawan sangat memperhatikan kegiatan sekolah minggu gereja tempatnya mengabdi.
Karena diajak kakaknya, Setiawan kecil pun pindah sekolah minggu ke GKI Halimun di jalan Salak, jakarta. Di sanalah dia bertumbuh kembang menjadi remaja hingga pemuda. Setiawan bukan ABG (anak baru gede) yang menghabiskan waktunya di gereja, ibarat kapal selam, dia hanya nongol untuk Natalan. Dia juga bukan anak rumahan makanya jarang di rumah. Pada masa itu, RADIO adalah salah satu hiburan yang paling digemari dan murah meriah. Sebagai remaja gaul masa itu, Setiawan dan kawan-kawan menghabiskan waktunya nongkrong di studio radio dekat rumah mereka.
Selain mancing dan nongkrong di studio radio, Setiawan juga suka sekali menonton pacuan kuda di Pulo Mas dan menebak kuda juara. Dia jagoan menebak kuda juara. Tentu saja bukan tebak-tebak buah manggis apalagi tebak 1001 mimpi karena dia melakukannya secara ilmiah. Dengan mengamati postur joki, postur kuda dan gerak-gerik kuda dan joki ketika berjalan menuju pacuan, dia memilih kuda calon juara. Konon, minimal satu dari tiga kuda jagoannya pasti juara. Setiawan bukan penjudi itu sebabnya dia hanya memberitahu analisanya kepada orang yang bertaruh namun dirinya sendiri tidak pernah pasang tarohan. Meskipun demikian, dia tidak pernah menolak hadiah uang dari mereka yang menang tarohan atas peetunjuknya.
Setiawan suka olah raga. Dia suka main tenis meja dan bulutangkis. Dia juga mau jadi juara itu sebabnya sering ikut pertandingan baik yang diadakan oleh GKI maupun di RT dan RW. Wow ….. Tentu saja dia sering jadi juara RT dan RW. Suatu hari, Setiawan mendapat hadiah dari ayahnya, sebuah raket merek Dunlop. Ha ha ha ha ha …….. Menurutnya, itulah hadiah paling BERMAKNA yang pernah diterimanya dari ayahnya.
Suatu kali, Setiawan terpilih untuk ikut pertandingan ekshibisi bulutangkis di Senayan. Saat itu dia duduk di kelas III SMP. Karena ingin menjadi juara dia pun berlatih habis-habisan. Berlatih keras dari pagi sampai malam. Berlatih keras dari hari ke hari. Berlatih keras sampai pingsan bahkan koma dan masuk rumah sakit. Komplikasi karena over training. Dokter yang merawatnya menyatakan tidak berdaya. Ibunda tercinta pun memanjatkan DOA NAZAR kepada Tuhan, “Kalau anakku sembuh, aku akan menyerahkannya bagi-Mu, oh Tuhan.” Pada hari keempat sejak tidak sadarkan diri, hari itu Jumat Sore, Setiawan bangun dans sejak itu dia berangsur-angsur sembuh.
Ketika sekolah di SMAK II Pintu air Jakarta, Setiawan dikenal sebagai preman. Saking seringnya berkelahi maka dikatakan, “Orang-orang minum obat tiga kali sehari, Setiawan berantem tiga kali sehari.” Meskipun suka berantem dan dianggap anak badung namun nilai ulangannya sebalu bagus. Itu sebabnya Setiawan juga dikenal sebagai anak pinter di sekolahnya. Sama seperti kebanyakan anak lulusan SMA, ketika lulus pun Setiawan tidak tahu mau melanjutkan ke mana? Karena nilai pelajaran Ekonominya tinggi sekali maka terpikir olehnya untuk masuk jurusan ekonomi Universitas Indonesia. Sebelum niat terlaksana, ujug-ujug muncul pikiran, “Kalau gua kuliah di UI dan tinggal di Jakarta, mang gak bakalan jadi rusak karena pergaulan?”
Karena takut rusak oleh pergaulan Jakarta, akhirnya Setiawan memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta. Dari iklan koran dia memilih Sekolah Tinggi Teologi (STT) Duta Wacana. Atas pilihannya itu, ayahnya bertanya, “Kamu tahu STT Duta Wacana itu sekolah apa?” Setiawan menjawab, “Nggak tahu! Saya hanya mau ke Yogya dan kuliah.” Tanpa keraguan ayahnya pun mengantarnya ke Yogya untuk mendaftar di STT Duta Wacana. Ketika menjalani test masuk, dia diantar oleh kakaknya. Ha ha ha ha ….. Keluarga Sudirga benar-benar KOMPAK dalam mengawal Setiawan sekolah Teologi di STT Duta Wacana.
Selama kuliah di Yogyakarta, Setiawan berteman akrab dengan Samuel Santoso (pdt. GKI Kedoya, jakarta). Mereka sama-sama suka bululangkis dan tenis meja. Konon, Setiawan jarang sekali kalah. Konon pula, hal itu terjadi karena Pdt. Samuel Santoso sangat sopan dan jujur ketika main bulutangkis dan tenis meja. Baginya menggocek teman saat main bulutangkis dan tenis meja sama sekali tidak sopan, apalagi menipu, itu tidak jujur namanya. Napaknya, dalam berteman, Samuel Santoso menganut prinsip tiada dusta di anatara kita dalam segala hal. Ha ha ha …..
Ketika Lulus sarjana Teologi tahun 1979, Sinode GKI JABAR (Jawa Barat) menugaskan Setiawan ke GKI Pengampon Cirebon. Di sana dia hanya bertahan selama 8 bulan. Sebagai sarjana Teologi idealis, gosip ria dan konspirasi jemaat dan majelis GKI Pengampon benar-benar membuatnya patah hati. Berhenti dari GKI Pengampon, Setiawan pun mencoba dunia kerja. Enam bulan bekerja di bengkel kemudian pindah menjadi staf perpustakaan universitas Jayabaya.
Saat itu tahun 1980. Dia duduk bersama ayahnya dalam Kebaktian Peneguhan Pdt. Lukito Handoyo di GKI gunung Sahari. Ketika melihat para pendeta berbarus dalam toga hitam mereka, terbersit pikiran, “Seharusnya saya ikut berbaris dengan mereka.” Ada perasaan galau yang tak terlampiaskan.
Setelah kebaktian selesai, Pendeta Sem O Purwadisastra, ketua Sinode GKI JABAR waktu itu menghampirinya lalu mengajaknya untuk makan di ruangan para pendeta. Pada kesempatan itu Pdt. Sem bertanya, apakah Setiawan bersedia untuk kembali dan menjadi pendeta GKI? Pdt. Sem yang bijaksana memberinya waktu satu minggu untuk mempertimbangkannya.
Satu minggu. Kesempatan terakhir. Sekali langkah diayun, tidak boleh mundur lagi. Menjadi pendeta di gereja atau menjadi pekerja di perusahaan. Kedua-duanya sudah pernah dia masuki dan rasakan. Mana yang harus dipilih? DOA NAZAR ibunda terngiang-ngiang di telinga, Setiawan pun membulatkan tekat dan menerima tawaran Pdt Sem dengan segenap hati.
Desember 1981 Setiawan berangkat ke GKI Cicurug. Jemaat GKI Cicurug menyukainya maka dia pun menjadi Tua Tua Khusus. 6 November 1982 Setiawan menikah dengan Suhelly Loekman, aktifis GKI Tanjung Priuk yang lahir 29 november 1961, di GKI Gunung Sahari (Gunsa), diberkati oleh Pdt. Ben Maleakhi. “Kak Iwan.” Dan “Ci Elly” demikianlah keduanya disapa.
Di Cicurug dan sekitarnya ada sungai Cicatih dan beberapa sungai lainnya yang airnya ngegelontor sepanjang tahun. Kolam-kolam ikan bertebaran di mana-mana. Memancing? Ha ha ha ha …. Hanya kaum wanita GKI Cicurug yang tidak suka memancing. Kaum Bapa, pemuda pemudi, remaja putera putri, anak-anak sekolah minggu, semuanya suka memancing. Itu sebabnya setelah kebaktian Minggu dan sekolah Minggu, umumnya kegiatan gereja dilanjutkan dengan pergi nguseup (mancing). Itu sebabnya ketika merayakan hari-hari gerejawi, lomba mancing jarang sekali tidak dilakukan. Memancing memang asyk. Keasykan pertama didapat ketika memasang umpan lalu melemparkannya ke kolam. Jangan memandang enteng. Anda perlu berlatih berjam-jam untuk menguasai teknik melempar umpan ke kolam. Setelah menguasainya perlu berjam-jam latihan lagi untuk mampu melempar jauh. Teknik paling tinggi adalah melempar umpan tepat ke posisi yang diinginkan. Setelah umpan dilempar menunggu umpan disambar ikan adalah keasykan selanjutnya. Berbeda dengan yang disangka banyak orang, para pemancing tidak ngelamun ketika menunggu umpan disambar ikan. Mereka memusatkan pikirannya pada umpan dan air serta ikan-ikan di dalam air. Ketika ikan menyambar umpan joran pun disentak. Terlalu cepat atau terlambat menyentak, ikan nggak akan nyangkut di pancing. Kenikmatan menarik ikan yang memakan umpan memang tiada lawan.
15 Agustus 1983, ci Elly melahirkan bayi lelaki. Adrian Kharisma Oetama namanya. Adrian mirip papanya, wajahnya maupun kelakuannya. Agak pendiam dan emosional serta suka berantem. Pulang sekolah atau pulang sekolah minggu dengan luka cakaran di tubuh dan wajah bukan hal aneh baginya.
13 Agustus 1984, Setiawan ditahbiskan menjadi Pendeta GKI Cicurug. Selain memancing kebanyakan jemaat Cicurug yang laki-laki suka main gaple. Gaple biasa dimainkan pada malam hari sedangkan tenis meja dimainkan kapan saja. Bulu tangkis dimainkan pada hari-hari tertentu. Di GKI Cicurug, gereja bukan hanya tempat untuk ibadah minggu dan sekolah minggu namun juga tempat nongkrong dan ngerumpi jemaat bahkan tempat nongkrong dan ngerumpi masyarakat sekitar gereja. Gereja tidak hanya untuk orang Kristen apalagi jemat GKI Cicurug doang.
10 November 1986, Alvin Priya Utama lahir. Berbeda dengan Adrian yang cuek, lugas dan trengginas seperti papanya, Alvin sangat lembut dan kalem seperti mamanya. Adrian disukai oleh kebanyakan jemaat lelaki karena macho sedangkan Alvin disukai jemaat perempuan karena lemah lembut dan murah senyum serta suka tertawa dan ramah tamah.
15 Maret 1991, mobil yang ditumpangi oleh empat orang pendeta GKI terbang keluar dari jalan Tol Cikampek dan ringsek mencium bumi. Pdt. Setiawan Oetama dan Pdt. Santoni (GKI Gading Serpong) yang duduk di sebelah kiri mobil luka parah sedangkan Pdt. Suradji (GKI Cawang) dan Pdt. Soeharso Hartoyo (GKI Tanjung Periuk) yang duduk di sebelah kanan mobil, meninggal. Malapetaka tersebut sempat menjadi topik pembicaraan jemaat GKI dan umat Kristen Indonesia. Topiknya adalah: Kenapa Tuhan membiarkan hamba-hamba-Nya mengalami kecelakaan mengenaskan? Luka di sekujur tubuh. Tujuh puluh sekian jahitan di mana-mana. Bahkan luka pada saraf tulang belakang Pdt Setiawan masih meninggalkan bekas sampai hari ini. Ketika kambuh, rasa sakitnya bukan kepalang. Doa syukur tanpa syarat. Itulah yang dipanjatkan oleh Setiawan setiap kali sakitnya kumat. Tanpa syarat artinya BERHARAP sembuh namun tidak menjadikan SEMBUH sebagai SYARAT untuk bersyukur.
Sebelas tahun di GKI Cicucug, Pdt Setiawan pun memutuskan untuk pindah ke GKI Sunter pada tahun 1992. Malam Tahun Baru adalah malam paling istimewa bagi pemuda dan remaja GKI Cicurug. Tukar kado dan bermain sampai pagi. Pemuda dan remaja GKI Cicurug biasanya mengajak handai taulannya liburan di rumah mereka dan ikut acara tahun baruan. Tidak ada syarat untuk ikut acara tahun baru pemuda dan remaja GKI Cicurug. Tidak perlu jemaat GKI bahkan tidak perlu orang Kristen. Siapa saja boleh ikut.
BoCiCiSuCi adalah singkatan dari Bogor, Cicucug, Cibadak, Sukabumi, Cianjur. BoCiCiSuCi adalah retreat bersama Pemuda GKI Bogor, GKI Cicucug, GKI Cibadak, GKI Sukabumi dan GKI Cianjur. Pemuda lima GKI ngerumpi bersama. Oh ya, sama seperti Malam tahun baru GKI Cicurug, BoCiCiSuCi pun boleh diikuti oleh siapa saja. GKI maupun non GKI bahkan non Kristen. Saya pernah ikut BoCiCiSuCi dimana GKI Cianjur menjadi tuan rumah. Saya juga pernah mengikuti BoCiCiSuCi di gedung sekolah BPK Penabur ketika GKI Bogor menjadi tuan rumah. Saya juga pernah ikut BoCiCiSuCi yang diadakan di camping ground Cangkuang, dekat kawah ratu gunung salak ketika GKI Cicurug menjadi tuan rumah.
Saya kenal belasan orang non Kristen yang lalu menjadi Kristen karena pengenalan mereka akan ajaran Kristen dimulai dari ikut acara tahun baru GKI Cicurug dan atau BoCiCiSuCi. Saya juga kenal belasan orang yang sampai hari ini tetap non kristen namun perilakukanya sangat dipengaruhi ajaran kristen dan mereka pertama kali mengenalnya saat ikut acara tahun baru GKI Cicurug dan atau BoCiCiSuCi. Sayang sekali, setelah Pdt Setiawan meninggalkan, GKI Cicurug, maka BoCiCiSuCi pun tidak pernah diadakan lagi. Bahkan dengan berlalunya waktu, acara malam tahun baru pun kehilangan gregetnya.
Ketika berbicara tentang kebersamaan non formal, mungkinkah Pdt Setiawan ingat yang dialaminya di GKI Cicurug tea? Saya tidak tahu!
Setelah pindah ke Jakarta, Adrian sering sakit perut. Dari hasil pemeriksaan lab, dokter mendapati Adrian kekurangan Kalsium. Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan Adrian sakit kanker usus besar. 17 Mey 1996. Setelah Hari kenaikan Yesus ke Sorga, sebelum Pentakosta. Adrian meninggal dunia. Kehilangan yang tidak pernah terlupakan. Bukan saja bagi keluarga Pdt Setiawan Oetama namun juga bagi jemaat GKI Cicurug. Meskipun tidak bertugas lagi di GKI Cicurug, namun di mata jemaat GKI Cicurug Pdt Setiawan tetap pendeta mereka. Meskipun sudah dua puluh tahun meninggalkan GKI Cicurug namun Ka Iwan, ci Elly dan Alvin bahkan almarhum Adrian, sama sekali tidak pernah lepas dari jemaat GKI Cicurug.
Pdt. Sheph Davidy Jonash adalah orang yang setia menemani keluarga Setiawan Oetama menjalani hari-hari kehilangan Adrian. Waktu berlalu. Kerinduan pada Adrian tidak pernah hilang, namun rasa sedihnya terus berkurang. Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya.
Belum genap lima tahun di GKI sunter, Pdt Setiawan mendapat tawaran ke GKI Samanhudi. Ia menerima tawaran itu meskipun senang di GKI Sunter. Tentu saja keputusan tersebut mengejutkan dan membuat jemaat GKI Sunter kecewa berat. Agustus 1996 Pdt. Setiawan pun resmi menjadi pdt GKI Samanhudi. GKI Samanhudi adalah GKI besar. Jemaatnya banyak. Pendetanyapun banyak. Setiap orang punya keinginannya sendiri. Setiap pendeta punya gaya dan rasa serta inginnya sendiri-sendiri. “Pantang jalan sendiri-sendiri dan sendiri jalan-jalan.” Kalimat tersebut sering sekali diucapkan oleh pdt Setiawan untuk menjaga kesatuan GKI Samanhudi.
Lebih lanjut Pdt. Setiawan menyatakan bahwa kebersamaan dari hati ke hati (toleransi; tepaselira) merupakan modal dasar kehidupan gereja. Modal demikian harus diusahakan alias dibina agar bertumbuh kembang. Menurutnya, jemaat GKI terdiri dari tiga kelompok yaitu:
- Yang hanya mau berpikir untuk gereja.
- Yang hanya mau bekerja untuk gereja.
- Yang hanya mau menonton orang berpikir dan bekerja untuk gereja.
Impian Pdt. Setiawan adalah menjadikan GKI Samanhudi sebagai trend Setter (gereja MODEL) bagi GKI lainnya. Ketika ditanya, apa yang telah dicapai oleh GKI Samanhudi selama 16 tahun ini? Menurutnya, GKI Samanhudi sudah BERJALAN meskipun baru di tempat. Ha ha ha ha ha ….. Berjalan di tempat lebih baik dari diam. Apa yang selama ini diakui sebagai PENGEMBANGAN jemaat tidak lebih dari poles sana poles sini belaka. Masih banyak program-program GKI Samanhudi yang tidak jelas tujuannya. Kebaktian umum, kebaktian pemuda, kebaktian remaja, sekolah minggu, adalah bentuk-bentuk kebersamaan formal. GKI Samanhudi perlu mengembangkan lebih banyak kegiatan kebersamaan non formal (red: mancing bareng, misalnya) bagi jemaatnya. GKI Samanhudi punya banyak kesempatan untuk mengembangkan pelayanannya, terutama di Komisi anak, Komisi Remaja dan Komisi Pemuda. Anak-anak dan remaja serta pemuda adalah generasi penerus GKI Samanhudi. Perhatian dan pendampingan yang serius bagi mereka adalah jaminan kegenapan ungkapan:
Tiap masa ada orangnya dan tiap orang ada masanya
Pdt Setiawan berharap semoga GKI Samanhudi terus menjadi saluran berkat dari Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kepada manusia.
NB.
Ditulis oleh hai hai berdasarkan pengenalannya atas Pdt Setiawan Oetama dan keluarganya serta tulisan Pdt. Hendri M Sendjaja berdasarkan wawancara dengan Pdt. Setiawan Oetama pada Jumat 22 Juli 2012 di GKI Samanhudi untuk MENGHORMATI Pdt Setiawan Oetama di hari EMERITUS-nya.
Sorry mas hai….kalau memang itu membuka luka lama, dan tdk sepatutnya untuk diuangkap…. Tidak usah diungkap…. Saya tdk ingin egois, anda mengungkap utk pembelajaran tp disatu pihak akan membuka luka lama…. Terima kasih
@Greg, mohon maaf, saya tidak akan menuliskan masalahnya sebab sudah lama berlalu dan semua orang yang terlibat di dalamnya SUDAH menyadari KESALAHANNYA dan kami bersama-sama melupakannya. Saya hanya ingin beritahukan kepada anda yang saya pahami tentang pemikiran pdt. Setiawan.
Saya suka makan Mie instan yang dimasak dengan bumbu separuh. Bila istri saya menyajikan mie instan yang dimasak dengan bumbu penuh maka saya akan NGOMEL. Ketika memasak mie instan dengan bumbu penuh dan menyajikannya kepada saya, istri saya BERBUAT BAIK dan TIDAK melanggar HUKUM apa pun. Namun meskipun demikian, DI MATA, saya DIA BERSALAH! Apa yang terjadi bila saya MENUDUHNYa sengaja mau NGELEDEK saya atau bikin saya SUSAH?
BAGI saya, istri saya BERSALAH meskipun TIDAK salah! Dia bersalah kepada saya karena tindakannya SALAH di mata saya.
contoh lain lagi. Anak saya, lelaki, namanya Wisely, umurnya 11 tahun. Dia menjaili seorang temannya lalu ada orang dewasa yang memarahinya hingga dia menangis. Saya kesal setengah mati dan MINTA orang tersebut minta MAAF sebab SOK JAGOAN mau MENGAJARI anak saya. Orang tersebut BERSALAH di depan mata SAYA meskipun yang dilakukannya BENAR.
Ok…understand mas….. Jadi krn overdosis….atau malah step ahead ya…. Ya sdhlah, closed book saja mas…..