Umat Buddha menyembah Siddhartha Gautama sebagai Tuhan Yang Maha Esa? Tidak. Agama Buddha bukan agama karena tidak menyembah Tuhan Yang Maha Esa bahkan tidak miliki konsep Tuhan? Salah.
Siddhartha Adalah Teladan
Siddhartha Gautama adalah pendiri agama Buddha. Dia hidup antara 563-483 SM. Sebelum beliau mengajarkannya, belum ada yang disebut agama Buddha. Siddhartha Gautama tidak disembah apalagi disembah sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Keberadaan arcanya bukan untuk disembah namun untuk diperingati alias dikenang alias diingat bahwa Siddhartha Gautama adalah pendiri agama Buddha dan diteladani perilakunya yang agung tersebut.
Umat Buddha Tidak Menyembah
Ketahuilah hai para bhikkhu bahwa ada sesuatu yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak dijadikan, yang tidak berubah. Duhai para bhikkhu, apabila tidak ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak dijadikan, yang tidak berubah, maka tidak akan mungkin kita bebas dari kelahiran, penjelmaan, penciptaan, perubahan. Tetapi para bhikkhu, karena ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak dijadikan, yang tidak berubah, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, penciptaan, perubahan. Sutta Pitaka, Udana VIII:3
Agama Buddha mengajarkan tentang keberadaan Yang Maha Esa alias Yang Maha Tunggal. Yang Maha Esa tidak diberi nama namun dijelaskan definisinya yaitu: Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang, artinya: Yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak dijadikan dan tidak berubah.
Setiap agama memiliki ritus alias tata cara upacara keagamaannya masing-masing yang berbeda-beda. Orang Islam melakukan takbir, “Allahu Akbar – Allah Mahabesar.” Orang Kristen mengucap, “Haleluya – Puji Tuhan.”
Anda mustahil menuntut orang Buddha untuk melakukan takbir, “Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang Akbar – Mahabesar Yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak dijadikan dan tidak berubah” Anda juga tidak boleh memaksa mereka memuji, “Pujilah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang.”
Takbir alias puji orang Buddha adalah, “Namo Sanghyang Adi Buddhaya – Terpujilah Yang Maha Sadar (tahu dan mengerti).”
Tentu saja umat Buddha tahu dan mengerti alias sadar bahwa pencerahan budi tidak didapat dari berteriak-teriak, “Namo Sanghyang Adi Buddhaya – Terpujilah Yang Maha Sadar” dari terbit matahai samai terbit kembali.
Pencerahan budi hanya bisa diperoleh dengan membina diri. Membina diri menghasilkan tahu dan bisa. Tahu alias pengetahuan didapat dengan membaca atau mendengarkan atau melihat sampai mengerti. Itu namanya tahu. Namun tahu saja tidak cukup karena kita harus bisa. Bisa alias mampu hanya bisa didapat dengan melatih diri untuk melakukannya sampai ahli.
Ketika mendengarkan lagu berjudul, “Rondo Alla Turca,” anak itu langsung tahu lagu tersebut. Buktinya dia tahu adalah, setiap kali ditanya, dia langsung tahu judulnya. Namun tahu saja tidak cukup. Itu sebabnya dia harus melatih dirinya untuk memainkannya berulang-ulang sampai ahli.
Apakah setelah tahu dan mampu dia tidak perlu membina diri lagi? Kalau berhenti berlatih maka cepat atau lambat kemampuannya akan menurun bahkan akhirnya lupa. Itu sebabnya kalau mau tetap bisa dan mampu, kita harus membina diri sampai mati.
Menghasut Umat Buddha Memenjarakan Eggi Sudjana
Eggi Sudjana: Jadi dalam perspektif hukum, mungkin saya berbeda dengan yang lain, karena saya melihat dari sisi substansi dari Pancasila yang pertama, “Ketuhanan yang Mahaesa.” Itu sangat jelas sesuai dengan Tauhid dari ajaran Islam. Nah, pengetahuan saya, mungkin terbatas, tapi boleh diuji secara intelektual. Tidak ada ajaran selain Islam. Ingat ya, digaris bahwahi, selain Islam yang sesuai dengan Pancasila. Selain Islam bertentangan. Karena Kristen Trinitas, Hindu trimuti, setahu saya, Buddha tidak punya konsep Tuhan. Ya, kecuali dengan proses Amitaba dan apa yang diajarkan oleh Sidharta Gauthama.
Kerabatku umat Buddha sekalian, perlukah kita melaporkan Eggi Sudjana ke Polda Metro Jaya, atas ucapannya di atas, terkait Pasal 28 ayat (2) jo 45 A ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE serta Pasal 156a KUHP tentang penistaan agama? Saya tidak tahu.
Karena puberku telat, itu sebabnya setelah SMA kelas satulah saya baru tahu kalau di Indonesia, saya hanya boleh menganut satu agama saja. Ternyata, tindakan saya menganut berbagai agama dan beribadah menurut berbagai agama tersebut sebelumnya dianggap penistaan agama.
Tadinya saya pikir itu hanya isyu yang ditiupkan oleh teman-teman dan guru-guru saya namun ketika mengurus KTP di Kecamatan waktu mau mendaftar ikut AKABRI, terbukti bahwa saya hanya boleh mencantumkan satu agama saja. Itu berarti NKRI hanya mengijinkan WNI untuk menganut satu agama saja. Menganut dan beribadah lebih dari satu agama dianggap penistaan agama?
Saya jadi ingat, bulan Desember 2014 yang lalu, ketika merayakan Ekaristi di gereja Katolik, seorang suster meneriaki saya bukan orang Katolik. Sejak hari itu saya tidak pernah ikut misa lagi karena takut dituduh bahkan digebukin dengan tuduhan menista agama Katolik.
Waktu ikut acara Waisak di Candi Borobudur, beberapa bulan yang lalu, seorang panitia mengharuskanku menunjukkan KTP. “Hanya yang KTP-nya beragama Buddha yang boleh masuk,” katanya waktu aku tanya, kenapa?
Tanpa menunjukkan KTP, saya berkata kepadanya, “Nggak perlu diperiksa, nona. Agama yang tercatat di dalam KTP saya Kristen. Saya dan teman saya itu sengaja datang dari Jakarta untuk merayakan Waisak di Borobudur. Saya tunggu di luar saja dech.”
Saya lalu memberitahu teman tersebut agar dia masuk sendirian saja dan saya akan tunggu di luar, karena agama KTP saya Kristen, tidak boleh masuk. Namun syukurlah panitia tersebut bersikap murah hati dan membiarkanku masuk.
Saya ingat, tahun 1976 kakak sepupuh saya mengajak saya ikut kebaktian di Vihara Laoze. Setelah puluhan tahun ikut kebaktian di berbagai Vihara dan tempat, semoga saya tidak dilarang ikut kebaktian karena kolom agama di KTP saya tertulis Kristen.
Andai kata Eggi Sudjana masuk penjara karena sudah dilaporkan oleh umat Kristen. Apa keuntungannya? Tentu saja perasaan puas karena membalas perbuatannya. Apakah perasaan puas tersebut berguna bagi?
So, jngan blas dendam bgtu? Ok lah, tp stidaknya, perbuatannya di dpan konstitusi kita dianggap ap pak hai?
Kita sudah tahu bahwa PASAL penistaan AGAMA adalah pasal yang TIDAK ada standarnya. Itu sebabnya Ahok menjadi KORBAN. Jaksa menuntut Ahok dipenjara 1 tahun namun HAHIM justru menjatuhkan vonis 2 tahun.
Siapa yang KUAT dialah yang akan MENANG. Itulah yang akan terjadi pada siapa saja yang MENUNTUT orang lain menista agama.
Akhirnya hukum menjadi ALAT untuk MEMUASKAN hati seenak jidatnya masing-maasing karena TIDAK ada STANDAR kebanrannya.
Agama tidak boleh menjadi ALAT untuk BALAS DENDAM. Tidak boleh menjadi ALAT politik. Tidak boleh menjadi alat untuk MEMBUNUH orang lain, karena UUD 45 menjamin KEBEBASAN beragama. DEBAT agama harus difasisitasi bukannya dijadikan ALAT untuk menyakiti orang lain.
Kita sudah melihat banyak sekali KORBAN pasal KARET penistaan agama. Itu sebabnya kita bukan hanya TIDAK boleh ikut-ikutan menggunakannya namun HARUS itu berjuang agar itu DIHILANGKAN dalam kasanah kehidupan bangsa Indonesia.
Ya, pak hai. Trmksh atas pandangannya. Ternyata itu pasal KARET ya. Ok2..
Anda tidak pernah belajar trinitas !
Jangan bilang kami menyembah 3″ Tuhan” kami menyembah hanya 1 Tuhan saja dan Tuhan kami ESA.
Lili, faktanya orang-orang Kristen menyembah Allah Tritunggal alias TIGA Allah Kembar siam.
akbir alias puji orang Buddha adalah, “Namo Sanghyang Adi Buddhaya – Terpujilah Yang Maha Sadar (tahu dan mengerti).”
Maaf koreksi. yang biasa di ucapkan oleh umat Buddha adalah Namo Buddhaya, tanpa Sanghyang Adi hehehe
Waktu SMP, saya diajari salamnya adalah, “Namo Sanghyang Adi Buddhaya,” kemudian dijawab, “Namo Buddhaya”