Sejak mendengarnya pertama kali di salah satu GKI sekitar tahun 2011, saya langsung tidak menyukai cara lagu tersebut dinyayikan. Lagunya OK namun kualitas syairnya parah. Makin dinyanyikan makin kedengaran pating pecotot.
Merry Carolina: for the first time sejak aku ngisis nang gki dipo. Hr ini doa bapa kami dlm lagu tdk di nyanyikan bersama2.
tapi penjahat gki di mimbar kasih perintah… saat doa syafaat selese.. lagu bapa kami hny dlm iringan musik instrumen piano.
saat denting piano mengalun merdu dlm melody doa bapa kami.
tiba2 saja hatiku serasa di penuhi damai sejahtera. wah… penjahat gki sitok iki pasti mengimpor doktrin grj alam roh ttg hadirat tuhan… ha ha haaa …
Bengcu Menggugat:
Sejak mendengarnya pertama kali di salah satu GKI sekitar tahun 2011, saya langsung tidak menyukai cara lagu tersebut dinyayikan. Lagunya OK namun kualitas syairnya parah. Makin dinyanyikan makin kedengaran pating pecotot.
Ketika saya mengungkapkan ketidaksukaannya, beberapa orang teman GKI malah mengagul-agulkannya sebagai karya hebat pendeta GKI. Ha ha ha ha … “Karya pendeta GKI dari hongkong?” Ejekku. “Saya jamin, itu syair lagu asing yang disadur ke bahasa Indonesia. Kata-katanya pating pecotot nggak karu-karuan,” sambungku.
Mengucapkan “Doa Bapa Kami” dengan lagu adalah tradisi purbakala yang jarang dilakukan lagi oleh orang-orang Kristen sejak reformasi, itu sebabnya nampak baru bagi orang GKI ketika diperkenalkan. Orang Katolik menyanyikan Doa Bapa Kami setiap kali Misa.
Masalahnya adalah kualitas syair lagu saduran tersebut mengenaskan (minimal tidak disukai oleh hai hai bengcu). Di samping itu, fanatisme orang-orang GKI yang salah kaprah, menganggapnya karya pendeta GKI sehingga diakui sebagai lagu “Doa Bapa Kami GKI” benar-benar menyesatkan. Itu sebabnya saya berjanji, “Nanti gua gugat lagu Doa Bapa Kami GKI Kena Stroke kebanggan kalian ya?”
http://choir.iweb.com.sg/index.php?p=1_6_Playlist
The Lord’s Prayer: The Lord’s Prayer is a model of prayer which our Lord has personally taught us in Matthew 6:9-13. It brought back fond memory of my visit to the Pater Noster Church, Jerusalem, in 2005 when I wondered, then, how the earth would resonate in glory if we, of different tribes and tongues, were to recite the Lord’s Prayer in unison from the almost ubiquitous plaques of different languages that covered the pillars and walls of the church. Jusuf Kam, the gifted music director of Wesley MC, penned a beautiful melody to the prayer. Hence, it is known within the Methodist cricle as ‘Wesley Tulus’ (‘tulus’, I understand, means ‘serene’ in Bahasa Indonesia). Our choir gave this wonderful rendition during Music Sunday 2007.
Doa Bapa Kami adalah doa acuan yangdiajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 6:9-13. Hal itu mengingatkan kunjungan saya ke gereja Noster Pater, Yerusalem, tahun 2005, ketika berpikir, bagaimana bumi akan bergetar dalam kemuliaan-Nya jika kita yang berasal dari berbagai bangsa dan bahasa melantunkan Doa Bapa Kami secara serentak dalam berbagai bahasa melingkupi pilar-pilar dan dinding-dinding gereja. Jusuf Kam, direktur musik berkakat dari Wesley MC, menulis melodi yang indah untuk doa. Di dalam lingkup Methodist sebagai “Wesley Tulus” (Tulus dalam bahasa Indonesia artinya tulus). Paduan suara kami menyajikannya secara indah selama Musik Minggu 2007.
The Loard’s Prayer
Tune: Wesley Tulus
The Lyrics are taken from the Lord’s Prayer (Matthew 6:9-13)
Jusuf Kam menamai lagu tersebut “Doa Bapa Kami – Wesley Tulus” dan mengakui karyanya sebagai “tune” artinya melody. Muksudnya Jusuf Kam hanya mengakui menulis melodi lagu tersebut namun tidak syairnya. Syair lagu tersebut adalah karya Yesus menurut catatan Matius 6:9-13 sementara Jusuf Kam hanya menyadurnya.
Tindakan Jusuf Kam demikian dianggap rendah hati dan sesuai dengan tradisi penciptaan lagu dan penyaduran syair lagu. Itu sebabnya di dalam buku “Mahda Bakti” milik Katolik dan “Kidung Jemaat” milik Kristen, para penyadur syair lagu-lagu demikian muncul anonim alias tanpa nama.
Apa jadinya bila para penyadur syair lagu-lagu rohani Katolik dan Kristen mencantumkan namanya dan mengharuskan penyadur lain untuk mencantumkan namanya pula? Lagu-lagu Rohani Kristen akan penuh dengan hiruk-pikuk saling hujat dan saling mengklaim karyanya.
http://www.juswantori.com/nyanyian-lain/doa-bapa-kami.html#.VwxNVEfAgkI
Tersebut di atas adalah yang tertulis di dalam juswantori.com.
Syair: Juswantori Ichwan berdasarkan Matius 6:9-13
Musik: adaptasi dari tune “Wesley Tulus” karya Jusuf Kam
Vokal: David Alexander Aden
Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, bukankah tindakan Juswantori Ichman mengklaim karyanya tersebut selain tidak rendah hati juga bertentangan dengan tradisi penyaduran syair lagu-lagu Kristen?
http://www.juswantori.com/nyanyian-lain/doa-bapa-kami.html#.VwxpdUfAgkL
Meskipun Pdt Juswantori Ichman mengakuinya namun faktanya dia tidak melakukan adaptasi apa pun. Bandingkan kedua lagu tersebut.
Lagu “Doa Bapa Kami – Wesley Tulus” karya Jusuf Kam adalah lagu yang indah namun pendeta GKI menjadikannya gagap ibarat kena stroke karena syairnya tidak diucapkan dengan pas.
Kisanak, ketahuilah bahwa Doa Bapa Kami adalah doa yang diucapkan dan dinyanyikan oleh pengikut Kristus Yesus dalam segala abad. Kalau enggak becus menjadikannya lagu yang lebih baik, tolong jangan menguranginya menjadi lebih jelek.
CATATAN:
Tersebut adalah jawabanan yang saya terima dari pendeta Juswantori Ichwan.
Juswantori Ichwan: Lagu “Doa Bapa Kami” itu adalah karya Jusuf Kam (berbahasa Inggris) yang saya adaptasi setelah meminta ijin kepada beliau via email sekitar tahun 2006. Ketika diterjemahkan, saya harus menambahkan 1 bar untuk menyesuaikan dengan bahasa Indonesia di kalimat (“Seperti kami ampuni yang bersalah kepada kami”). Itu yang disebut adaptasi. Artinya, tidak sesuai dengan langgam/tune aslinya.
Saya menerjemahkannya untuk jemaat lokal (GKI Peterongan) tahun 2006. Terjemahan itu memang tidak memenuhi standar, karena aksentuasi tidak diperhatikan (di tahun itu saya belum memperhatikan aksentuasi).
Setelah dipakai, lagu itu ternyata menyebar kemana-mana secara informal (jemaat satu mencontoh dan disebarkan lagi ke jemaat lain). Padahal saya bersama David Aden mengupayakan terjemahan yang lebih pas dan menaruhnya di website.
Sampai kini lagu itu bukan lagu resmi GKI.
Soal penulisan “syair: Juswantori Ichwan berdasarkan Mat 6:9-13)’, itu penamaan standar. Setiap syair yang tidak persis sama dengan Alkitab perlu ditulis “Syair: ………….. menurut/berdasarkan (ayat Alkitab)” atau “based on”, bukan “taken from” yang artinya 100% kutipan langsung dari Alkitab.
Dalam bahasa Inggris (lagu aslinya), syair itu memang “based on” karena merupakan kutipan utuh dari Alkitab. Dalam terjemhan bahasa Indonesia, saya menyingkat kalimat di Alkitab LAI “ampunilah kami akan kesalahan kami” dengan “ampuni salah kami”. Ada juga beberapa singkatan lain. Maka penulisan “based on” perlu untuk mengakui bahwa ada perbedaan – walaupun sedikit – dari syair Alkitab, dan saya (penerjemah) bertanggung jawab atas perbedaan itu.
Hal yang sama juga kita lakukan terhadap penulisan di buku2 Mazmur. Kita menulis “Syair: …………. berdasarkan/menurut Mazmur ….. ” karena mengakui bahwa ada perubahan dari teks asli.
Setiap kali saya memimpin seminar dan orang bertanya tentang lagu “Doa Bapa Kami”, selalu saya menjelaskan bahwa itu karya Jusuf Kam yang saya adaptasi/sesuaikan dengan teks Doa Bapa Kami di Alkitab LAI.
Menurut saya bukan salah pendetanya, dengan jumlah gereja sekarang di indonesia, jelas gereja kekurangan seniman musik yg baik baik penyanyi dan lain2. Karna jika suaranya bagus cenderung berkiprah di dunia sekuler. Jadi yang menyannyi di gereja cenderung yang berkualitas biasa saja. Bahkan ketika di acara natal 2015 kmrn saya agak sedikit sedih karna penyanyinya yang menyanyi di acara natal gereja saya, suaranya masih standar juga…kemana anak2 Tuhan yang bersuara bagus ya?
Saya sendiri anak-anak Tuhan itu kemana? ha ha ha …
Bapak Bengcu yang terkasih dan juga para pembaca website ini,
Terimakasih Bapak telah mengkritisi dengan cermat masalah lagu “Doa Bapa Kami”. Apa yang Bapak sampaikan ada benarnya, bahwa terjemahan lagu itu “kualitas syairnya rendah”, dan saya bertanggungjawab atas hal itu. Untuk itu saya perlu memberi penjelasan.
Lagu “Doa Bapa Kami” itu adalah karya Jusuf Kam (berbahasa Inggirs) yang saya adaptasi setelah meminta ijin kepada beliau via email sekitar tahun 2006. Saya ingin memakainya untuk jemaat lokal tempat saya melayani (GKI Peterongan). Setelah mendapatkan ijin via email, saya pun menerjemahkannya.
Soal melodi, ketika diterjemahkan, ada kesulitan karena teks Doa Bapa Kami di Alkitab LAI lebih panjang. Akibatnya saya harus menambahkan 1 bar di bagian “Seperti kami ampuni yang bersalah kepada kami”, sehingga tidak sesuai lagi dengan jumlah bar di langgam/tune asli-nya. Di bagian “Jangan bawa kami” (6 suku kata) saya juga harus mengubah pola ketukannya, karena di bahasa Inggris hanya terdiri dari 4 suku kata (‘and lead us not”). Itu yang disebut dengan adaptasi, artinya disesuaikan untuk kepentingan penerjemahan.
Soal syairnya, saya mengakui ketika menerjemahkan di tahun 2006 untuk jemaat lokal, terjemahan itu memang tidak memenuhi standar, karena aksentuasi tidak diperhatikan (waktu itu saya belum tahu banyak tentang pentingnya aksentuasi). Syair itu juga tidak bisa persis sama dengan teks ALkitab LAI. Padahal syair bahasa Inggrisnya persis sama dengan teks Alkitab berbahasa Inggris, sehingga bisa ditulis “taken from”. Syair yang tidak persis sama dengan Alkitab (bukan kutipan langsung) perlu diakui bukan sebagai “taken from”, melainkan “based on” (berdasarkan/menurut). Maka pola penulisan dalam rubriknya adalah “Syair: ………….. menurut/berdasarkan (ayat Alkitab).” Hal serupa juga kita lakukan untuk syair2 Mazmur yang dimuat di buku “Bermazmurlah Bagi Tuhan”. Untuk syair selalu ditulis “(nama penerjemah syair) menurut/berdasarkan Mazmur …..” karena kita mengakui bahwa syair2 nyanyian Mazmur itu sudah disingkat atau di-parafrase (dibahasakan ulang) dari syair Alkitab, bukan kutipan langsung. Dalam kasus Doa Bapa Kami, misalnya, kalimat di Alkitab LAI “ampunilah kami akan kesalahan kami” disingkat dengan “ampuni salah kami”. Ada juga beberapa singkatan lain. Ketidaksamaan ini perlu diakui dan dipertanggungjawabkan. Itu sebabnya kita perlu menulis nama orang yang bertanggungjawab atas penulisan ulang itu.
Dipakainya lagu Jusuf Kam sejak 2006 di jemaat kami adalah karena waktu itu di jemaat tempat saya melayani ada kebutuhan akan nyanyian “Doa Bapa Kami” (kalau tidak salah padamasa raya Paska atau masa raya Natal, saya sudah lupa). Karena tidak ada yang cocok, saya menilai bahwa langgam Jusuf Kam yang indah itu yang paling cocok. Maka saya pun mengkontak dia via gerejanya di Singapura. Setelah mendapatkan ijin, segera kami buatkan terjemahannya untuk dipakai di jemaat lokal. Jemaat merasa suka dengan lagu itu sehingga dipakai terus setelah masa raya berlalu. Lalu menyebar kemana-mana secara informal. Tamu yang datang ke jemaat kami lalu meminta teks-nya dan memakainya untuk jemaatnya, lalu disebarkan lagi ke jemaat lain.
Setiap kali saya memimpin seminar dan menyinggung nyanyian “Doa Bapa Kami”, selalu saya jelaskan bahwa lagu itu karya Jusuf Kam yang saya adaptasi/sesuaikan dengan teks Doa Bapa Kami di Alkitab LAI. Namun orang terus menganggap saya sebagai penciptanya. Oleh karena itulah beberapa tahun lalu, saya bersama David Alexander Aden kemudian membuatkan rekamannya dan mengunggahnya ke website saya. Tujuannya ada dua. Pertama, supaya semua orang tahu bahwa melodi lagu itu bukan karya saya, melainkan adaptasi dari langgam yang dibuat oleh sdr. Jusuf Kam. Kedua, dalam rekaman itu kami berupaya membuat terjemahan yang lebih sesuai dengan aksentuasi bahasa Indonesia. Akibatnya syair terjemahan yang baru itu memuat lebih banyak kata yang berbeda dengan teks Alkitab LAI (seperti “melainkan” diganti dengan “namun”). Sayangnya, terjemahan yang baru ini belum banyak dipakai, karena orang sudah keburu terbiasa menyanyikan terjemahan 2006.
Sampai kini lagu “Doa Bapa Kami” versi Jusuf Kam itu bukan lagu resmi GKI, seperti nyanyian2 Mazmur, walaupun sudah beredar di mana-mana. Sudah sejak lama saya berada di Komisi Liturgi dan Musik GKI, tetapi lagu itu tidak pernah kami rencanakan untuk masuk ke buku nyanyian terbitan GKI (jika terbit). Lagu itu baru bisa masuk ke buku setelah kita meminta ijin secara resmi kepada Jusuf Kam dan adaptasi melodi serta terjemahan teksnya sudah disetujui oleh tim nyanyian GKI. Padahal sekarang ini arah tim nyanyian lebih kepada penggubahan lagu sendiri, bukan mengadaptasi atau menterjemahkan lagu asing. Kini sudah ada nyanyian Doa Bapa Kami lainnya yang melodinya diambil langsung dari teks Alkitab LAI. Mungkin lagu itu yang kelak akan kami resmikan menjadi lagu Doa Bapa Kami di buku nyanyian GKI.
Begitulah penjelasan saya, Pak Bengcu dan rekan-rekan. Semoga penjelasan ini membuat Bapak lebih memahami latar belakangnya. Terimakasih banyak untuk kritik Bapak, karena lewat itu saya bisa menjelaskan hal tersebut lewat forum ini.
Salam,
Juswantori Ichwan
Terima penjelasannya, pak pendeta. Saya juga sudah masukan komenter anda yang saya dapat dari Facebuk.
ajaranmu lebih pating pecotot, sudah kena stroke masih aja tidak bertobat.
wah ada orang kristen vs orang kristen nih.
dibalik “kasih.. kasih.. kasih..” 1 korintus 13;
dibalik “tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni” 1 petrus 3
dibalik “doakan musuhmu” mat 5;
ada “Doa Bapa Kami GKI Kena Stroke” “pating pecotot gak karu karuan” “GKI dari Hongkong”
mengumpat memang menjadi kebiasaan kaum dengan slogan kasih ini.. slogan doang. isinya kosong. ga jauh beda kayak ISIS. penuh kebencian. mirip dengan stephen tong. kasar sekali. nyesal sudah mengenal kaum ini. kejelekannya 11-12 dengan yang suka bunuh diri sono (bedanya, umat yang ini masih pinter pakai topeng “kasih”, kalo yang sono, blak blakan langsung bunuh diri).
Haha… kritikus yg tak berkarya…
Facebuk…?
FACEBOOK kali maksudnya ya…
kayanya yg satu bukan kristen mas… tapi Bekas Kristen…