GKI Bogor Baru MENIPU pemerintah dan masyarakat dengan membangun gedung gereja pakai IMB gedung serba guna dan menyembunyikan gerejanya di dalam komplek SMU Penabur Bogor. Ketika SMU Penabur gulung tikar maka PENIPUAN GKI Bogor Baru pun terbongkar. BERTOBAT dan MENGURUS IMB adalah SATU-SATUNYA jalan dan perjuangan yang BISA dan HARUS ditempuh GKI Bogor Baru.
Darwin Darmawan: Sekedar bercerita. Untuk provokator yang mengusir GKI Bogor Baru, sekarang saya berteman dan tidak keberatan mengulurkan tangan membantunya jika membutuhkan.
Aneh bin ajaib! Ketika PENIPUAN GKI Bogor Baru terbongkar, alih-alih BERTOBAT dan MENGURUS IMB rumah ibadah, pendeta GKI Bogor Baru, Pdt Darwin Darmawan justru MENYALAHKAN “provokator yang mengusir GKI Bogor Baru,” dan menjilat pantatnya sendiri karena “sekarang saya berteman dan tidak keberatan mengulurkan tangan membantunya jika membutuhkan.”
Mohon maaf tanpa mengurangi rasa hormat, Pdt Darwin Darmawan yang mulia, tindakan anda di atas ibarat suami IMPOTEN yang alih-alih BEROBAT justru MENCELA istrinya kurang GERSANG (seger merangsang) dan tidak keberatan mengulurkan tangan membantunya jika membutuhkan. Ha ha ha ha ha ….. Benar-benar kutu kupret!

Gambar: langitberita.com
Darwin Darmawan: Semalam saya berbicara dengan teman-teman dari Katolik, Islam, Budha dan Konghucu dalam pertemuan rutin lintas agama. Lalu saya menanyakan bagaimana persepsi mereka tentang perjuangan Yasmin. Sebagian dari mereka melihat perjuangan Yasmin benar. Tetapi mereka yang mengatakan itu buru-buru menambahkan: “perjuangannya kurang baik karena terkesan keras kepala“.
Fakta-Fakta Kasus GKI Yasmin
Karena DIALOG gagal maka GKI Yasmin dan Walikota Bogor (dan yang di belakangnya) pun sepakat untuk menempuh JALUR hukum ke PTUN dilanjutkan ke PT TUN kemudian ke Mahkamah Agung (MA) lalu ke Ombudsman RI. Setelah Keputusan MA dan Rekomendasi Ombudsman RI keluar maka SATU-SATU-nya JALAN untuk menyelesaikan masalah GKI Yasmin adalah MENGEKSEKUSI Keputusan MA dan melaksanakan Rekomendasi (wajib) Ombudsman RI.
Karena Walikota Bogor membangkang Keputusan MA dan Rekomendasi Ombudsman RI maka SATU-SATU-nya bentuk PERJUANGAN yang BISA ditempuh oleh GKI Yasmin adalah MENGGUGAT Pemerintah (Presiden) untuk mengeksekusi Keputusan MA dan Rekomendasi Ombudsman RI dan MENGGUGAH kesadaran HUKUM dan HAM serta Toleransi masyarakat dunia untuk MENEKAN Pemerintah (Presiden).
Syarat utama penerbitan IMB rumah ibadah adalah dukungan masyarakat sekitar. IMB rumah ibadah yang dikeluarkan oleh Walikota atau Bupati tanpa dukungan masyarakat sekitar adalah IMB asli namun palsu. Asli karena dikeluarkan oleh Walikota atau Bupati namun palsu karena tidak punya kekuatan hukum sebab menyalahi prosedur penerbitannya.
Kebanyakan orang menyangka RELOKASI berarti GKI Yasmin membatalkan pendirian gereja di lokasi sekarang karena mendapat penggantian gereja baru di lokasi lain dari Walikota Bogor. Bukan! Mustahil demikian kejadiannya. IMB gereja Yasmin yang sekarang tidak bisa digunakan untuk mendirikan gereja di lokasi lain. Itu sebabnya bila hendak membangun gereja baru di lokasi lain, GKI Yasmin harus mengurus IMB-nya dulu. Mengurus IMB berarti meminta dukungan masyarakat sekitar.
Itu sebabnya meskipun disebut RELOKASI sesungguhnya yang ditawarkan oleh Walikota Bogor adalah penggusuran dengan imbalan sejumlah uang. Apabila GKI Yasmin setuju maka penyelesaian demikian bisa dilakukan. Namun sayang setelah keputusan pengadilan, penyelesaian demikian mustahil dilakukan lagi. Kenapa demikian?
Mereka yang tidak mengerti hukum menyangka Keputusan MA nenetapkan GKI Yasmin sebagai pemenang dan Walikota Bogor sebagai pecundang. Lebih lanjut mereka pikir pemenang berhak untuk mengklaim atau tidak mengklaim kemenangannya. Itu sebabnya sebagai pemenang, GKI Yasmin bebas untuk mendirikan atau tidak mendirikan gereja Yasmin. Bukan! Mustahil demikian fakta hukumnya.
Keputusan MA berkekuatan hukum tetap. Artinya tidak ada kekuatan di NKRI yang boleh menentangnya. Menentang Keputusan MA berarti menantang kedaulatan NKRI. Keputusan MA tidak menetapkan pemenang dan pecundang namun mengikat kedua belah pihak yang berperkara untuk menaatinya. Artinya harus dijalankan oleh kedua belah pihak yang berperkara dan tidak boleh dihalang-halangi oleh siapa pun. Artinya baik Walikota Bogor maupun GKI Yasmin harus menjalankannya. Artinya GKI Yasmin harus mendirikan gereja sesuai dengan IMB dan Walikota Bogor tidak boleh menghalanginya. Artinya ketika GKI Yasmin dan Walikota Bogor menaatinya tidak boleh dihalang-halangi oleh siapa pun.
Tindakan GKI Yasmin membatalkan pembangunan gereja Yasmin sesuai IMB adalah pembangkangan Keputusan MA. Tindakan Walikota Bogor menghalangi GKI Yasmin membangun gereja Yasmin sesuai IMB juga adalah pembangkangan Keputusan MA.

Gambar: keepcalm-o-matic
Mereka yang mengagulkan diri aktivis pluralisme pendukung perjuangan GKI Yasmin namun menuduh GKI Yasmin keras kepala karena menolak RELOKASI adalah orang TOLOL yang mencari pujian dengan berlagak pejuang. Aktivis pluralisme pendukung perjuangan GKI Yasmin sejati pasti tahu kenapa GKI Yasmin selalu menyatakan, “Menolak relokasi dan menaati Keputusan MA adalah harga mati!”
Pendeta Darwin Darmawan yang mulia, cara bermain basket berbeda dengan sepak bola. Aturan main basket berbeda dengan sepak bola. Itu sebabnya mereka yang mengaku ikut main basket namun tendang sana tendang sini, kalau tidak gila pastilah TOLOL setengah mati. Namun Khonghucu punya pendapat lain.
Kongzi berkata, “Yang melewati pintuku namun tidak mau memasuki ruanganku, aku tidak akan menyesalinya. Dia adalah orang yang mencari perhatian untuk mendapat pujian di kampungnya. Dia adalah pencuri kebajikan. Mengzi VIIB:37:7 – Jinxin xia
Menurut Khonghucu, Darwin Darmawan tidak lebih dari orang yang melewati pintu GKI Yasmin namun tidak mau memasuki ruangannya. Dia hanya mencari pujian dari orang-orang sekampungnya dengan berlagak aktivis pluralisme pendukung perjuangan GKI Yasmin. Dia tidak lebih tidak kurang adalah pencuri kebajikan.
Setiap orang yang hendak mendukung perjuangan GKI Yasmin bukan saja harus mengerti masalah GKI Yasmin dengan benar namun juga harus tahu bentuk perjuangan GKI Yasmin yang benar.
Bila Darwin Darmawan adalah aktivis pluralisme sejati dia pasti berjuang untuk mendapatkan IMB rumah ibadah bagi GKI Bogor Baru. Pendeta GKI yang menipu pemerintah dan masyarakat dengan membangun gereja pakai IMB gedung serbaguna apalagi menyalahkan “provokator yang mengusir GKI Bogor Baru,” ketika TIPUAN-nya terbongkar, namun mengaku dirinya aktivis Pluralisme adalah pencari pujian dengan mencuri kebajikan.
Hai hai alias bengcu alias ang ciyang alias arief chrisdiyanto adalah anggota jemaat GKI Siliwangi Cicurug yang tinggal di Jakarta. Setelah mengamati sepak terjang GKI Yasmin sejak tahun 2010 lewat berita, maka awal Maret 2012 saya memutuskan untuk ikut berjuang dengan GKI Yasmin.
Langkah pertamanya adalah mencari teman untuk memperkenalkan saya kepada GKI Yasmin. Pdt. Samuel Adi Pradana yang tinggal di Magelang sedang ada acara di Bandung. Karena menyangka dia dan GKI Yasmin sedang menggelar acara di Bandung, maka saya pun ke Bandung. Ternyata tidak ada acara yang digelar. Tanggal 9 Maret 2014, dua orang perempuan anggota jemaat GKI Yasmin nyetir sendiri jauh-jauh ke Bandung hanya untuk diperkenalkan oleh Pdt. Samuel Adi Pradana kepada bo bengcu (no body). Siapa bilang GKI Yasmin sombong? Faktanya mereka datang dengan senang hati untuk memberi pertanggunganjawab atas perjuangannya ketika diundang.
Setelah memperkenalkan diri saya pun mengutarakan keinginan untuk ikut berjuang. Supaya sederap maka saya minta diajari agar mengerti MASALAH GKI Yasmin dan JALAN perjuangan yang ditempuh dengan benar. Saya pulang dari Bandung dengan membawa satu bundel copy dokumen sehubungan masalah GKI Yasmin. Saya mulai menghadiri kebaktian bagimu negeri di depan istana bersama GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia tanggal 11 Maret 2014.
Beberapa minggu kemudian saya diundang oleh Pdt. Samuel Adi Pradana untuk ikut rapat GKI Yasmin di GKI Pengadilan Bogor. Teman-teman GKI Yasmin sabar sekali ketika saya mengungkapkan ketidaktahuan saya tentang JALAN perjuangan GKI Yasmin. Setelah hampir 3 bulan mempelajari dokumen-dokumen GKI Yasmin dan Tata Gereja & Tata Laksana GKI berulang-ulang dengan teliti dan hati-hati serta mendapat penjelasan dari Dr. Jayadi Damanik lewat email untuk hal-hal yang tidak dipahami, saya baru mulai menulis blog tentang GKI Yasmin pada tanggal 28 Mei 2014. Mengerti dulu baru menulis.
Meskipun sering menghadiri kebaktian bagimu negeri di depan istana namun bila perlu, saya dan Suginto Surjadi dari GKI Samanhudi pun minta izin untuk ikut rapat GKI Yasmin guna sharing hal-hal yang telah kami lakukan dan minta pertimbangan untuk yang ingin kami lakukan sehubungan dengan perjuangan GKI Yasmin sekaligus mengupdate informasi baru. Bila GKI Yasmin beracara dengan pihak lain, maka kami hanya muncul bila diajak oleh GKI Yasmin. Bila tidak diajak, kami tidak akan muncul. Agar bermanfaat bagi perjuangan GKI Yasmin maka mendukung perjuangan GKI Yasmin harus dilakukan dengan menjadi bagian dari GKI Yasmin. Menjadi bagian dari GKI Yasmin artinya berderap mematuhi strategi dan kebijakan perjuangan GKI Yasmin yang tanpa kekerasan dan tidak melanggar konstitusi NKRI.
Darwin Darmawan tinggal di Bogor, demikian pula anggota jemaat GKI Yasmin. Mengaku mendukung perjuangan GKI Yasmin dengan “secara konsisten menyuarakan perlunya perjuangan secara dialog dan kultural dalam beberapa pertemuan di Bogor,” namun tidak pernah berdialog dengan GKI Yasmin? Menulis dan mempresentasikan “Kajian Poskolonial atas kasus GKI (bakal Pos) Taman Yasmin” untuk mendukung perjuangan GKI Yasmin namun tidak pernah berdialog dengan GKI Yasmin? Ha ha ha ha … Darwin Darmawan memang sialan!
Darwin Darmawan yang mulia, yang digerakkan oleh Walikota Bogor untuk meneror GKI Yasmin adalah Forkami (Forum Komunikasi Islam) Bogor dan Hisbut-tahrir Bogor serta Laskar Garis (Laskar Gerakan Reformis Islam) Cianjur. Apakah anda sudah berdialog dengan Forkami, Hisbut-tahrir dan Garis untuk mendukung perjuangan GKI Yasmin? Apakah anda sudah menyuarakan perlunya perjuangan secara dialog dan kultural kepada GKI Yasmin? Apakah anda sudah mempresentasikan “Kajian Poskolonial atas kasus GKI (bakal Pos) Taman Yasmin” kepada GKI Yasmin? Never! Never! Never!
Pendeta Darwin Darmawan, tindakan anda “secara konsisten menyuarakan perlunya perjuangan secara dialog dan kultural dalam beberapa pertemuan di Bogor,” bukan kepada Walikota Bogor, Forkami, Hisbut-tahrir dan Garis serta GKI Yasmin dan pressentasi anda di forum Studi Intensif tentang Islam yang digagas oleh Universitas Kristen Duta Wacana dan Raker BPMS GKI, bukan di pertemuan dengan GKI Yasmin, itu ibarat masturbasi untuk menghamili istri. Untuk sebuah kalimat yang lebih baik, “Jaka sembung bawa golok, tindakan anda nggak nyambung GOBLOK!”

Gamber: enthikrule.blogspot.com
Pendeta sialan, nampak gamblang sekali. Anda bukan pendukung perjuangan GKI Yasmin namun pencuri kebajikan yang mencari pujian dari orang-orang sekampung dengan berlagak pendukung GKI Yasmin. Kalau mendukung perjuangan GKI Yasmin, seharusnya ketika diberitahu oleh GKI Yasmin bahwa tindakan anda yang anda akui untuk mendukung perjuangan GKI Yasmin justru MENGHAMBAT dan MENENTANG perjuangan GKI Yasmin, seharusnya anda BERTOBAT dan MINTA MAAF.
Alih-alih BERTOBAT dan MINTA MAAF anda justru MENJILAT pantat sendiri setinggi langit dengan mengagul-agulkan pepesan kosong sebagai perjuangan dan menuduh GKI Yasmin, “Kalau tulisan tersebut terkesan sebagai serangan dan secara tendensius melumpuhkan perjuangan Yasmin, itu penafsiran teman-teman. Saya memahami sikap keras (sebagian) teman Yasmin sebagai sesuatu yang wajar,”? Ha ha ha ha …..
Pendeta Darwin Darmawan, pendeta sialan, sudahlah, tolong jangan berjuang untuk GKI Yasmin, ya?! Sebaiknya anda berjuang untuk GKI Bogor Baru saja. Anda sudah mulai mengurus IMB gedung gereja GKI Bogor Baru, belum? Sudah tahu prosedur pengurusan IMB rumah ibadah? Saya memahami sikap PENGECUT (sebagian) teman GKI Bogor Baru yang nggak berani mengurus IMB sebagai sesuatu yang wajar, lho?! Ha ha ha … Melalui email ini, saya menawarkan diri untuk membantu GKI Bogor Baru minta tolong teman-teman GKI Yasmin mengajari cara mengurus IMB dech. Ha ha ha ha …. Oh ya, jangan Ge eR ya, tulisan anda memang menyerang namun tidak melemahkan perjuangan GKI Yasmin sama sekali. Saya menegor anda karena merasa MALU, kok pendeta GKI tolol setengah mati sich? Ha ha ha ha ….. TOLOL namun SOK TAHU! ha ha ha ha ….
NB.
Di bawah ini adalah tulisan SAMPAH SERAPAH Pdt. Darwin Darmawan yang kekeh jumekeh dipresentasikan di Raker BPMS GKI di Magelang meskipun ditentang oleh Pdt. Natan Setiabudi yang diundang secara khusus oleh BPMS GKI untuk membahas masalah GKI Yasmin. Ditentang dengan alasan GKI Yasmin tidak hadir untuk memberi tanggapan. SAMPAH SERAPAH-nya saya beri warna biru dan merah.
Kajian Poskolonial atas kasus GKI (bakal Pos) Taman Yasmin
Pengantar
Persoalan yang terkait dengan rumah Ibadah GKI bakal Pos (Bapos) Taman Yasmin, Bogor, sampai kini masih belum selesai. Padahal, pengadilan telah memenangkan gugatan mereka terhadap pemerintah Bogor. Kasasi yang diajukan oleh Pemkot Bogor telah ditolak MA. Namun mereka tetap dilarang membangun gedung gereja dan beribadah. Sampai saat ini mereka melakukan ibadah di depan istana merdeka dua minggu sekali.
Kasus di atas mengungkapkan sebuah persoalan sosial yang serius: keberagaman agama (religious diversity) acapkali menjadi masalah. Ia tidak mampu direspon secara bijak oleh sebagian masyarakat Indonesia. Agama-agama yang sudah sejak awal berkoeksistensi di negeri ini, dimanfaatkan oleh kuasa tertentu, untuk menjadi alat negosiasi sosial dan politik (Ramstedt 2011: 3). Akibatnya, agama dipakai untuk mendiskriminasi atau merepresi.
Bagaimana persoalan di atas dikaji? Kajian terhadap persoalan antar agama umumnya melihat aktor-aktor yang terlibat dalam kasus tersebut secara hitam-putih. Maksudnya, kajian yang dilakukan cenderung memiliki sudut pandang normatif, lalu menempatkan aktor-aktor yang terlibat secara oposisional binaris: ada pihak yang didiskriminasi, ada pihak yang mendiskriminasi; ada pihak yang dilanggar hak beragamanya, ada pihak yang melanggar hak beragama kelompok lain. Sudut pandang normatif ini juga mendudukan pemerintah yang biasanya tidak tegas dalam menangani kasus sebagai pihak yang “impoten dalam memperjuangkan hak beragama kelompok yang ditindas atau dalam menegakkan hukum”.
Kajian seperti itu efektif untuk mengurai persoalan dalam rangka memahaminya. Ia juga tepat membaca realita, sebab memang ada aktor-aktor yang saling berkonfrontasi di dalamnya. Tetapi, seperti yang diungkapkan oleh Daisaku Ikeda (2001)-penerima medali perdamaian PBB tahun 1983- kajian demikian didasari oleh “semangat abstrak” yang berbahaya. Pada gilirannya, demikian menurut Ikeda, kajian tersebut menghasilkan inefektifitas dalam membangun perdamaian yang sesungguhnya.
Penulis menghindari kajian yang hitam – putih dan oposisional binaris dalam melihat kasus GKI Bapos Taman Yasmin. Sebagai gantinya, penulis memakai perspektif poskolonialisme, yang melihat tiap aktor dalam kasus GKI Bapos Yasmin dalam relasi yang saling memengaruhi dan mentransformasi pihak lain. Ada ruang negosiasi di antara mereka yang berkonfrontasi, yang perlu diperhatikan dalam penyelesaian konflik yang sampai saat ini terjadi.
Penulis akan menguraikan secara singkat kronologis kasus GKI Bapos Taman Yasmin dan perkembangannya. Selanjutnya, penulis akan mendiskusikan perspektif poskolonialisme untuk membaca kasus GKI Bapos Taman Yasmin.
Kronologi Kasus GKI Bapos Taman Yasmin
Wali kota Bogor mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 645. 8-372 tahun 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan gereja untuk GKI Bapos Taman Yasmin. Tetapi, di tanggal 14 Februari 2008, Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor mengeluarkan Surat No. 503/208-DKTP yang isinya adalah pembekuan Ijin mendirikan Bangunan. Surat tersebut merupakan respon Pemkot Bogor atas keberatan dan protes sebagian kecil warga sekitar. Alasannya, gereja tersebut dilihat sebagai pusat pemurtadan umat Muslim di kota Bogor dan adanya pemalsuan tanda tangan warga dalam pernyataan tidak keberatan dari warga sekitar gereja.
Pihak GKI Bapos Yasmin mengajukan gugatan ke PTUN Bandung untuk membatalkan surat pembekuan ijin yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor No. 503/ 208-DTKP tertanggal 14 Februari 2008. PTUN Bandung mengabulkan gugatan pihak GKI Bapos Yasmin. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pun membatalkan surat pembekuan tersebut. Pemkot Bogor kemudian mengajukan kasasi kepada MA terkait dengan kasus ini. MA menolak permohonan kasasi tersebut, lalu mengeluarkan putusan No. 127 PK/TUN/ 2009 tanggal 9 Desember 2010 yang isinya melegitimasi IMB GKI Bapos Yasmin.
Merespon hal tersebut, Pemkot Bogor mengeluarkan dua buah surat. Surat pertama, tertanggal 8 Maret 2011 berisi SK Wali Kota Bogor No. 503. 45-135 tentang pencabutan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor No. 503/208-DTKP tertanggal 14 Februari 2008 perihal pembekuan ijin. Surat kedua tertanggal 11 Maret 2011 berisi SK Wali Kota Bogor No. 645.45-137 tentang Pencabutan Permanen IMB GKI Taman Yasmin. Surat tanggal 8 Maret 2011, menurut Wali Kota Bogor, Diani Budiarto, merupakan kepatuhannya terhadap putusan MA. Sementara itu, surat tertanggal 11 Maret didasari oleh pertimbangan bahwa telah terjadi pemalsuan tanda tangan warga ketika pengajuan persyaratan IMB dilakukan. Pemalsuan itu ada dalam dokumen tertanggal 15 Januari 2006. Pihak GKI Bapos Yasmin membantah hal ini karena persyaratan pengajuan IMB telah diserahkan sejak Agustus 2005.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyatakan pula bahwa apa yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor merupakan pelanggaran administrasi dan melawan hukum. Di tanggal 8 Juli 2011, ORI merekomendasikan pencabutan SK Walikota yang mencabut IMB gereja secara permanen. Namun rekomendasi tersebut tidak diperhatikan oleh Pemkot Bogor. Lucunya, Gubernur Jawa Barat tidak menegur pihak Pemkot yang tidak mengikuti rekomendasi tersebut. Di tanggal 12 Oktober 2012, ORI melaporkan peristiwa ini kepada presiden RI dan DPR RI, agar memerhatikan dan mengambil tindakan terhadap persoalan ini. Pemerintahan SBY dan DPR RI memberi perhatian. Mereka beberapa kali melakukan pertemuan dengan pihak GKI Bapos Yasmin dan Pemkot Bogor, beserta dengan pendukung keduanya. Namun hingga kini, jalan keluar yang diharapkan kedua belah pihak belum terwujud.
Di GKI sendiri terjadi perbedaan pandangan yang berpotensi memecah keberadaan jemaat. Sebagian aktifis GKI Taman Yasmin, dengan dukungan aktifis lintas iman dan HAM, menekankan perlunya penegakkan hukum, tanpa negosiasi. Mereka melakukan demonstrasi, menolak tawaran relokasi dan tanpa kompromi menolak segala bentuk solusi di luar apa yang ditetapkan hukum. Anggota GKI Pengadilan, sebagai induk GKI Bapos Taman Yasmin pun sikapnya berbeda-beda. Ada yang antipati terhadap perjuangan sebagian aktifis GKI Taman Yasmin, ada yang mendukung penuh, ada yang menginginkan diterimanya tawaran relokasi.
Majelis Jemaat sendiri membuka pintu dialog dengan pemkot Bogor, termasuk menjajagi kemungkinan tawaran relokasi. Pihak sinode GKI ikut serta mendampingi persoalan ini. Beberapa pengurus sinode ikut serta dalam pertemuan yang dilakukan dengan pihak DPR RI dan Pemerintah. Namun masalahnya terus berlarut. Pada pertengahan Desember 2012, dilakukan rapat kerja sinode GKI dan menghasilkan keputusan sebagai berikut:

Gambar: psikologi2009
Pertama, meminta Walikota Bogor mematuhi keputusan MA dan rekomendasi ORI yang menyebutkan bahwa GKI (Bapos) Yasmin tidak melanggar hukum.
Kedua, meminta Walikota Bogor mencabut pembekuan IMB.
Ketiga, meminta Walikota Bogor membuka penyegelan dan penggembokkan gereja.
Keempat, menolak tawaran relokasi.
Kelima, jika keempat keputusan itu dilakukan, Sinode akan mengapresiasinya dengan tidak mendirikan rumah ibadah di atas lahan tersebut.
Sikap Majelis Jemaat GKI Pengadilan dan keputusan Raker sinode dilihat sebagai kompromi oleh sebagian aktifis GKI Bapos Yasmin. Mereka menolak dengan tegas dan memosisikan Majelis Jemaat dan sinode sebagai pihak yang berseberangan sikapnya dengan mereka. Bersama dengan aktifis HAM dan lintas iman, mereka terus mengupayakan agar solusi yang sesuai hukum diberlakukan.
Poskolonialisme memandang persoalan GKI Bapos Yasmin
Kajian poskolonialisme memiliki proyek ganda: mengingatkan kondisi poskolonial akan asal-usulnya dalam penindasan kolonial sekaligus mengingat godaan-godaan untuk melakukan kolonialisme (Gandhi 2008:6). Masyarakat yang pernah mengalami kolonialisme perlu menyadari kecenderungan dirinya yang ambivalen terhadap kolonialisme: mereka membenci sekaligus (bisa) mencintai kolonialisme.
Kebencian ini muncul dalam antagonisme terus menerus terhadap kolonialisme, “pusat”, penindas atau wacana dominan. Ini ditunjukkan oleh sebagian aktifis GKI Bapos Yasmin yang bersama-sama aktifis HAM dan lintas iman menunjukkan sikap berseberangan dengan pihak yang melarang beribadah dan pemerintah yang membekukan IMB gereja. Menurut Gandhi, politik menyalahkan, antagonisme atau konfrontasi terhadap kolonialisme bisa dipakai untuk menyembunyikan praktik korupsi dan tiran di bawah pakaian anti Barat (Gandhi 2008: 166). Kita bisa menambahkan, antagonisme tersebut juga bisa dipakai sebagai baju untuk membungkus hasrat untuk berkuasa. Sudah bukan rahasia, tidak sedikit para aktifis HAM atau NGO yang berteriak lantang terhadap kekuasaan yang korup dan otoriter, bersikap otoriter dan korup pula dalam perjuangannya. Di antara mereka, seiring berjalannya waktu, bahkan ada yang ikut dalam barisan kekuasaan yang mereka tentang sebelumnya.
Apa yang diungkapkan ini bukan penghakiman. Ini merupakan kesadaran untuk mengritisi kecenderungan untuk terus menyerang, menyalahkan dan menjadikan pihak lain yang berseberangan sebagai musuh, seakan-akan mereka serba “putih” dan memiliki motivasi yang murni. Rezim Komunisme runtuh oleh karena mereka selalu mencari musuh di luar diri tanpa mengevaluasi bahwa ada potensi kejahatan di dalam diri sendiri. Nilai humanisme bisa berubah menjadi fasisme ketika hanya mengandalkan perlunya reformasi eksternal ( Ikeda 2008: 14) tanpa menyadari potensi kejahatan di dalam diri sendiri. Ini yang saat ini terjadi pada sebagian kecil aktifis GKI Bapos Yasmin yang berteriak lantang. Mereka menganggap segala masukan di luar konfrontasi terhadap pembangkangan hukum dan pihak yang menentang gereja sebagai upaya yang tidak lagi murni dan “putih”.
Mereka yang mengartikulasikan antagonisme terhadap kolonialisme secara sembunyi-sembunyi sesungguhnya mencintai praktek kolonialisme yang ditujukan kepada kelompok mereka sendiri. Dalam kasus GKI Taman Yasmin, sebagian aktifis yang merasa tertindas dalam beberapa hal juga melakukan aksi penindasan terhadap pihak yang menindasnya dan kelompok yang berbeda cara pandangnya. Perlawanan damai dan verbal yang diperjuangkan, tidak jarang memakai kalimat kasar yang melukai dan menghakimi. Bahkan sebagian aktifisnya tidak segan-segan berkata-kata kasar dan keras kepada Majelis Jemaat GKI Pengadilan dan Sinode GKI.
Sementara itu, rasa kecintaan terhadap kolonialisme bisa muncul dalam persetujuan (entah sadar atau tidak) terhadap politik identitarian atau eksotisasi etnisitas dan marjinalitas (Gandhi 2008:162). Sebagian aktifis GKI Bapos Taman Yasmin lantang menyuarakan isu diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang mengancam masalah kebangsaan. Tentu saja ini baik adanya. Tetapi memainkan isu seperti ini dan menganggap mereka sebagai korban yang paling malang mengabaikan keberadaan kelompok lain yang juga mengalami diskriminasi dan marjinalisasi. Ustad A yang menutup salah satu gereja di Bogor, berkata kepada penulis: “Kalau GKI Yasmin berteriak lantang sampai dunia internasional, menyerukan perlunya penegakkan hukum bagi gerejanya, maka kalau mau konsekuen, gereja-gereja di Bogor yang tidak berijin harus menghentikan kegiatan ibadah mereka.” Saat ini, sudah ada dua gereja di Bogor yang tidak bisa beribadah di gedung gerejanya karena gedung yang dipakai tidak sesuai peruntukkannya.
Konfrontasi yang tidak berakhir antara yang menindas dan yang tertindas menghasilkan kebuntuan yang melelahkan. Kebuntuan yang melelahkan ini tentu menguras emosi. Pada gilirannya, bukan tidak mungkin apatisme atau radikalisme muncul dari berbagai aktor yang terlibat di dalamnya. Apatisme itu terlihat hadir dalam sebagian jemaat GKI Pengadilan yang dulu aktif memperjuangkan keberadaan GKI Bapos Yasmin. Mereka yang dulu ikut berjuang, saat ini memilih mundur dan tidak bersikap apa-apa terkait perjuangan GKI Bapos Yasmin. Sementara itu, radikalisme muncul di dalam diri sebagian aktifis GKI Bapos Yasmin dalam wujud sikap hitam putih mereka dalam berjuang, yang cenderung selalu menyalahkan pihak yang berseberangan dan berbeda pandangan dengan mereka.
Kenyataannya, perjuangan mereka dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya tidak hitam – putih. Ada banyak kelompok yang dianggap menentang atau berseberangan dengan perjuangan GKI Bapos Yasmin sesungguhnya ingin sesuatu yang baik juga terjadi. Kurang lebih empat bulan lalu, penulis bercakap-cakap dengan pegawai Pemkot Kota Bogor yang juga anggota GKI Pengadilan. Dia mengatakan, sebagai orang Kristen yang memiliki jabatan cukup strategis di Pemkot Bogor, dirinya tidak ingin perjuangan Yasmin gagal. Tetapi mewujudkan hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada kompleksitas dalam masalah tersebut sehingga cara perjuangan tidak bisa hanya satu. Ketika upaya dialog dianggap bukan sebuah cara penyelesaian, maka perjuangan GKI Bapos Yasmin menemui banyak sekali hambatan. Bukan itu saja, demikian menurutnya, sekarang ini sebagian orang Islam di Bogor menganggap orang Kristen itu keras kepala dan arogan, tidak mau dialog dan bekerja sama. Jangan kaget jika ke depan, keberadaan gereja akan semakin sulit.
Apa yang diungkapan oleh pegawai Pemkot itu merupakan masukan bahwa “mendesak terlalu jauh dalam waktu yang terlalu singkat” (Ikeda 2008:14) bukanlah langkah yang bijaksana. Maksudnya, dalam proses demokrasi kita yang relatif baru dan muda, kita perlu bersabar dalam memperjuangkannya sekaligus menyadari adanya kecenderungan untuk bersikap tidak demokratis dalam diri kita.
Itulah yang dikatakan Ikeda sebagai “semangat abstrak” yang berbahaya. Niat setulus dan semurni apa pun, jika tidak dikaitkan dengan keberadaan manusia yang memiliki ego, bisa berubah menjadi hasrat berkuasa yang berbahaya, yang dibungkus dengan ideologi yang indah. Ikeda mengutip salah satu dialog dari novel karya Boris Pasternak untuk menjelaskan bahayanya semangat abstrak:
Mencetak ulang diriku! Orang yang mampu mengatakan itu tidak pernah memahami suatu hal pun tentang kehidupan, tidak pernah merasakan nafas dan degup jantung kehidupan…… mereka melihat kehidupan seperti segumpa bahan baku untuk mereka bentuk dengan sentuhan mereka. Namun kehidupan bukanlah benda atau materi untuk dicetak. Kalau engkau ingin tahu, kehidupan adalah prinsip pembaharuan diri, kehidupan terus menerus berproses…..” (Ikeda 2008: 16-17)
Menghayati kutipan di atas, kita sepatutnya maklum jika kualitas demokrasi kita belum ideal. Kita sungguh naif jika mengharapkan paham demokrasi -yang selama ini jauh dari kehidupan sosial dan politik kita -sebagai sesuatu yang harus terwujud dalam waktu yang segera. Amerika saja, negara yang dianggap sebagai pendekar demokrasi, harus melewati proses panjang yang memakan waktu ratusan tahun untuk bisa seperti ini (mereka merdeka 4 Juli 1776). Kita sendiri sadar untuk merubah satu habit dalam diri kita saja sulit. Apalagi jika harus merubah kultur politik sebuah bangsa yang sebagian besar masyarakatnya belum sejahtera.
Antropologi Kristiani, yang menyadari hakekat manusia yang rapuh untuk berbuat baik, relevan untuk direnungkan:” ..bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.” (Roma 8:15). Bukan tidak mungkin pihak Pemkot Bogor juga ingin menyelesaikan kasus ini secara baik, tetapi ada banyak hal lain di luar kemampuannya yang mendrive keputusan mereka sehingga tidak ideal penyelesaiannya.
Menurut Gandhi, poskolonialisme perlu melihat bahwa dalam momen kolonial, sebenarnya ada interaksi yang kompleks, yang tidak bisa disederhanakan sebagai relasi antara pusat dan pingiran kolonial atau penindas dan yang ditindas, yang batas-batas identifikasinya jelas. Dalam relasi itu, seperti yang Bhabha (Bhabha 2004) katakan, ada negosiasi antara pihak yang menindas dan pihak yang ditindas sehingga keduanya bisa saling memengaruhi dan mengalami transformasi. Dalam kaitan dengan kasus GKI Taman Yasmin, saat ini sebagian jemaat GKI Bapos Yasmin dan GKI Pengadilan berefleksi tentang sikap gereja yang mungkin saja keliru dalam penyelesaian kasus GKI Bapos Yasmin ketika mengambil antagonisme. Dari pihak yang menindas, yaitu pemkot Bogor, muncul kesadaran akan perlunya mengelola kemajemukkan menjadi sesuatu yang penting. Dalam spanduk perayaan HUT Kota Bogor ke 531 (bulan Juni), tulisan tentang perlunya kota Bogor menerima keberagaman terpampang di berbagai pojok kota. Mungkin saja artikulasi ini didasari pertimbangan pemerintah untuk membela diri karena kasus GKI Bapos Yasmin, tetapi jika ini diucapkan sebagai salah satu motto HUT Kota Bogor, sesuatu yang tadinya tidak pernah diungkapkan, ini tanda bahwa Pemkot Bogor mengalami transformasi dalam kaitan dengan penyelesaian kasus GKI Bapos Yasmin.
Karena perjumpaan kolonial di dalamnya ada transformasi mutual, maka hibriditas adalah keniscayaan dalam perjumpaan tersebut. Karena masing-masing pihak yang berinteraksi saling memengaruhi, maka perjuangan yang murni adalah sebuah ilusi. Mengharapkan, memaksakan, adanya hasil perjuangan yang murni dan asli, hanya akan menghasilkan penindasan bentuk baru. Dengan mengatakan hibriditas adalah sebuah keniscayaan bukan berarti masyarakat boleh begitu saja melupakan momen penindasan. Di sinilah tantangan dari persepktif poskolonialisme diuji. Dia tidak boleh meninabobokan orang terhadap momen kolonial sehingga menghasilkan amnesia politik terhadap penindasan (Gandhi 200: 182) atau menegaskan dan memutlakkan kompromi yang mengabaikan aspek keadilan dari pihak yang ditindas.
Sebagian orang melihat, salah satu motor penentang keberadaan GKI Bapos Yasmin adalah organisasi Islam yang memiliki afiliasi dengan PKS. Mayoritas orang Kristen di Bogor yang tidak secara terang-terangan menunjukkan sikap membela perjuangan GKI Bapos Taman Yasmin, mendukung perjuangan mereka dengan cara yang berbeda. Dua minggu sebelum pemilihan wali kota Bogor (14 September 2013), beberapa survey menunjukkan pasangan calon yang diusung oleh PKS akan memenangkan Pilwalkot tersebut. Kalau ini terjadi, penyelesaian kasus GKI bapos Yasmin akan buntu. Pemimpin gereja di Bogor saat itu secara aktif menghimbau umat Kristen memakai hak pilih secara cerdas, supaya calon PKS tidak menang. Akhirnya, calon yang berjanji akan menjadi pemimpin untuk semua, Bima Arya, mampu menjungkalkan dominasi calon PKS yang secara jumawa merasa sudah akan menang. Umat Kristen di Bogor, yang tidak terang-terangan mendukung perjuangan GKI Bapos Taman Yasmin dalam sikap diamnya ternyata melakukan resistensi dan strategi politik, yang mungkin malah efektif dalam memperjuangkan hak asasi umat Kristen dan kelompok minoritas lainnya dalam beribadah.

Gambar: saynotoqnet
Lima keputusan dalam Raker Sinode GKI, seperti yang dimuat dalam majalah Tempo edisi 3 Februari 2013, menurut penulis, bisa dibaca sebagai perspektif poskolonial. Pihak sinode memperjuangkan kebenaran, seperti yang diharapkan dalam keputusan ke satu sampai ke empat yang meminta pihak Pemkot mematuhi keputusan MA. Tetapi kebenaran itu, jika dilakukan, tidak akan melukai pihak yang tidak benar, sebab ketika keempat keputusan tersebut dilakukan, pihak GKI tidak akan membangun gedung gereja di atas lokasi tersebut (sesuatu yang diinginkan oleh pihak penentang dan Pemkot Bogor). Walau ini belum menjadi informasi publik dan keputusan resmi GKI, ada wacana kuat yang hendak diwujudkan sinode GKI jika pemkot mengikuti empat keputusan raker tersebut, maka di atas tanah tersebut akan dibangun entah perpustakaan untuk masyarakat Bogor atau pusat kajian multikulturalisme.
Jika hal itu benar-benar terwujud, menurut penulis, ini merupakan solusi poskolonial. Pihak GKI mengakui pekerjaan rumah untuk membangun demokrasi, budaya multikultural selama ini belum GKI kerjakan secara baik. Maka dari itu, GKI tidak sekedar menuntut perlunya mendapat hak beribadah di alam demokrasi, tetapi juga mengungkapkan keterbatasan dirinya yang selama ini belum cukup serius membangun hal tersebut dan berbuat sesuatu dengan membangun perpustakan atau pusat kajian multikulturalisme di atas lahan yang selama ini menjadi simbol perjuangan aktifis lintas agama dan HAM untuk menegakkan hukum, demokrasi dan penghargaan terhadap hak kelompok minoritas. Dengan kata lain, kalau pihak GKI Bapos Yasmin mengalami diskriminasi, itu juga konsekuensi dari keterbatasan gereja yang belum memberi perhatian besar terhadap perwujudan hal tersebut. Dalam keputusan seperti ini, ada transformasi dari masing-masing pihak yang berkonfrontasi. Pihak penentang mengakui kekeliruan mereka, tetapi pihak gereja juga melakukan hal yang sama.
Dengan mengatakan ini, penulis tidak mengatakan bahwa pihak Sinode GKI serba “putih”. Ini solusi poskolonial. Di dalamnya, terdapat hal yang bisa dilihat sebagai sikap kompromi atau “hitam” oleh mereka yang mencari solusi hitam putih atas kasus ini. Orang juga bisa salah mengerti dan menganggap ini sebagai bentuk kompromi. Orang juga bisa menganggap ini sebagai kesalahan. Tidak mengapa, karena memang solusi ini tidak akan memuaskan semua pihak. Yang perlu dilakukan adalah meminimalisir kesalahpahaman atas keputusan yang diambil. Karena kasus ini sudah menjadi kasus internasional dan bukan hanya perjuangan GKI tetapi juga banyak kelompok lintas iman dan aktifis demokrasi, maka pertimbangan atau latar belakang keputusan yang diambil, perlu dikomunikasikan dengan cara yang tepat kepada semua pihak yang terlibat dan merasa memiliki GKI Bapos Taman Yasmin. Secara khusus, komunikasi perlu dilakukan dengan beberapa orang dari GKI Bapos Yasmin yang emosional dan hitam putih. Mereka perlu dimengerti dan dikasihi.
Penutup
Demikian kajian poskolonialisme terhadap kasus GKI Bapos Taman Yasmin. Perspektif ini adalah perspektif alternatif yang bisa direnungkan sebagai salah satu perspektif di antara perspektif dominan yang cenderung melihat persoalan secara hitam-putih.
Di sini, yang diperlukan bukan sekedar menuntut pihak di luar diri kita berubah, tetapi diri sendiri juga. Perspektif ini menghindari kita menjadi fasisme yang berbungkus kemurnian dan ketulusan. Perspektif ini juga melihat transformasi sosial hanya mungkin terjadi jika dilakukan secara relasional, bukan secara konfrontasi. Perspektif ini menghindari kita untuk tidak melihat selumbar di mata orang lain, tetapi gagal melihat balok di pelupuk mata sendiri (Luk 6:41)
DD, 22-10-13
Referensi
Bhabha, H., 2004, The Location of Culture, London : Routledge.
CRCS, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012, Yogyakarta, 2012
Darmawan, D., Identitas Hybrid orang Cina Indonesia Kristen, Thesis, Center for Religious and Cross Cultural Studies, 2013
Gandhi,L., Teori Poskolonial: Upaya meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta, Qalam, 2006
Ikeda, D., Demi Perdamaian: 7 Jalur Menuju Kehamonisan Global, Jakarta, BIP Gramedia, 2008
Silaen, V.,Bertahan di Bumi Pancasila: Belajar dari Kasus GKI Yasmin, Jakarta, YKBK, 2012
Saya bersahabat baik dengan beliau semenjak masih kecil…Mudah2an beliau segera bertobat
Kalau anda ketemu dia, tolong kasih tahu, “BERTOBATLAH! jangan SOK TAHU! JANGAN SOK PINTER! BELAJARLAH!”
Mudah2an bisa ketemu & ngobrol…belum pernah kesampaian
Siapa sich kamu, cara menulis seperti orangnya, suka kata hahaha, tolol, berlagak pintar. padahal tidak mengerti apa2.
Saran Gue.. cara menulis itu yang bijak penuh dengan kata sopan dan santun. Ketauan banget seperti apa diri km. Saya hanya mendapat link dari google dan heran saja ada tulisan seperti kamu seperti tau segala. Tulisan kamu penuh dengan tuduhan. Judul di web : Hanya belajar dari Alkitab. Kamu belajar sendiri ?? tidak ada yang membimbing kamu?? tidak sekolah Theologi ?? Bila semua itu ada dikamu, janganlah belajar seakan2 roh kudus bimbing kamu. Belajarlah agama dari sekolah theologi baru bisa memberi komentar yang baik. Jangan seperti orang Farisi yang menganggap dirinya lebih pandai dan tau segalanya. DIBUTAKAN KARENA MERASA DIRI LEBIH TAHU. PADA HAL NOL BESAR.. sama dengan tulisan2 anda.
Kalau kamu belum bisa menerima saran ini, artinya anda itu NOL BESAR. Alkitab tidak bisa belajar sendiri , You Know !!! itu bukan buku sejarah, komik, atau puisi. Belajarlah disekolah yang benar..
Ketika Yesus menyebut orang-orang MUNAFIK itu “Hai ular beludak!” Yesus menyebut mereka “Anak Iblis” dan “Orang BODOH” Paulus menyebut mereka “MUNAFIK” hai hai dengan penuh KASIH memberitahu orang TOLOL ketololannya dan orang BODOH kebodohannya serta orang BEBAL kebebalannya. Ahok juga demikian. Hasil yang ditulai oleh Yohanes pembaptis, Yesus, Paulus dan hai hai alias BENGCU serta Ahok sama saja yaitu: orang-orang TOLOL itu tetap BEBAL! Bukan hanya BEBAL namun berlagak SALEH dan menasehati. Ha ha ha ha ha …… Belajar Alkitab dulu baik-baik baru MENGAJAR nak. BACA Alkitab saja nggak pernah samai habis sudah mau SOK MENASEHATI hai hai yang DASYAT itu? Ha ha ha ha ….. K’cian dech lu! Ha ha ha ha …
@nasehat: jangan ad hominem donk… kalo isa ya berargumen tentang isi artikelnya bukan malah meyalahkan om bengcunya melulu… silahkan uji / sanggah artikel2 om bengcu dengan sumber yang jelas. kalo artikelnya tentang alkitab ya uji dengan alkitab. Saya malu baca komentar orang kristen yang cuma memojokkan orangnya aja tanpa mau menunjukkan kesalahannya dimana… Kalo ga isa bantah, ya mending meneng wae…
mana nih hai pengecut…sahabat2 anda juga pengecut yah? ga usah buat tulisan panjang2 hai ada media namanya youtube hai upload aja muka pengecut anda trus kotbah disitu hai…
karena terbesar anak2
hai hai pengecut hai hai pengecut hai hai pengecut