KB Dingklik


Ketika masih kuliah, salah satu adik saya yang dokter ikut Kuliah Kerja Nyata ke sebuah desa di Jawa Tengah. Pada saat itu gerakan KB (Keluarga Berencana) sedang gencar-gencarnya. Adik saya mendapat tugas untuk mempromosikan dan memberi penerangan kepada keluarga-keluarga di desa tersebut tentang KB. Dia berkeliling dari rumah ke rumah guna mengundang ibu-ibu dan bapak-bapak di kampung itu untuk menghadiri pertemuan di balai desa.

Bersaksi. Itulah cara yang dipikirkan oleh adik saya pada saat itu. Apabila orang-orang yang telah sukses menjalani KB diberi kesempatan untuk menyaksikan kesuksesan mereka dan mendapat pujian, tentu mereka akan lebih semangat menjalani KB dan siapa tahu, mereka akan terpacu untuk bersaksi kepada para tetangga dan handai taulan lainnya?

Dengan mendengarkan kesaksian orang-orang yang telah sukses menjalankan KB, siapa tahu hal itu akan memicu pasangan-pasangan yang belum menjalankan KB untuk ikut serta? Dengan pemikiran demikianlah adik saya mengatur jadwal acara. Sebelum Dia memberi penyuluhan, dia akan memberi kesempatan kepada ibu-ibu yang telah ikut program KB untuk bersaksi.

Ruang pertemuan balai desa penuh sesak. Hampir semua pasangan yang diundang datang. Mungkin sebagian dari mereka merasa penasaran karena adikku memberitahu mereka bahwa sebelum penyuluhan akan ada acara kesaksian. Mungkin mereka ingin tahu, apa itu kesaksian?

“Handai taulan sekalian, terima kasih untuk kehadirannya. Seperti yang saya janjikan, kita akan mendengarkan kesaksian dari ibu-bu yang telah mengikuti program KB. Ibu-ibu yang telah mengikuti program KB bisa menyaksikan, berapa lama mereka sudah mengikuti program KB dan program KB apa yang diikuti serta bagaimana hasilnya. Baiklah, kita akan mulai dari bangku depan barisan kanan saya, siapa namanya, bu?”

Ibu yang ditunjuk oleh adik saya menyebutkan namanya, “Poniyem dok!” Adik saya melanjutkan, “Baiklah, ibu Poniyem akan mengambil giliran pertama lalu dilanjutkan dengan ibu yang di sebelah kanan dan akan terus sampai ke belakang. Setelah semua ibu-ibu yang ikut program KB bersaksi, baru kita akan diskusi tentang keuntungan-keuntungan program KB dan bagaimana cara mengikutinya. Kepada Ibu poniyem, saya persilahkan untuk berdiri dan bersaksi.”

Walau agak ragu-ragu Ibu Poniyem berdiri, dengan suara sedikit bergetar dia bersaksi, “Nama saya Poniyem. Saya ikut Kb susuk. Sudah sepuluh tahun, Alhamdulilah, selamat!”

Adik saya bertepuk tangan mengiringi Ibu Poniyem yang kembali duduk. Hadirin yang lain menyambut tepuk tangan adik saya dengan tepuk tangan pula. Ibu Poniyem tersenyum malu-malu namun sorot matanya tidak dapat menyembunyikan rasa bangganya. Suaminya yang duduk di sampingnya juga tersenyum bangga.

Wanita selanjutnya berdiri dan bersaksi, “Nama saya Sumiyem, saya ikut KB pil, sudah 15 tahun.  Alhamdulilah, selamat!” Kembali suara tepuk tangan menggema. Ibu Sumiyem duduk dengan bangga, mungkin dia merasa dirinya lebih hebat dari Ibu Poniyem karena dia sudah KB lebih lama.

Wanita selanjutnya pun berdiri dan bersaksi, “Nama saya Mukiyem. Saya ikut KB vasektomi. Sudah 9 tahun, Alhamdulilah, selamat!” Kembali suara tepuk tangan menggema.

Wanita selanjutnya pun berdiri dan bersaksi, “Nama saya Sitiyem. Saya ikut KB suntik. Sudah 12 tahun. Alhamdulilah, sehat!” Kembali suara tepuk tangan menggema.

Wanita selanjutnya pun berdiri dan bersaksi, “Nama saya Rukiyem. Saya ikut KB Spiral. Sudah 16 tahun. Alhamdulilah, selamat!”  Suara tepuk tangan kembali menggema, kali ini sedikit lebih lama, mungkin para hadirin mengagumi lamanya KB itu berjalan.

Ketika tiba giliran wanita selanjutnya, dia tidak berdiri namun saling senggol dengan suaminya yang duduk di sampingnya. Dia nampak benar-benar gelisah, demikian pula suaminya. Kegelisahan keduanya semakin menjadi-jadi ketika hadirin yang lain mulai berkomentar.Ada yang mengejek, ada yang menyemangati ada pula yang hanya ketawa-ketiwi menyambut komentar hadirin lainnya.

Ketika adik saya hendak mengambil alih karena suasana ruangan menjadi hiruk-pikuk, wanita itu tiba-tiba berdiri. Melihat keberanian wanita itu, hadirin pun bertepuk tangan banyak yang menggumamkan pujian kepadanya. Setelah bunyi tepuk tangan reda, wanita itu berkata,
“Nama saya Samiyem …..” Wanita itu berhenti lalu menoleh memandang suaminya. Suaminya menunduk dengan wajah merah, bukan marah namun malu. Dia mengangkat bahu untuk menyatakan dirinya tidak berdaya membantu istrinya.

“Nama saya Samiyem …. Nganu …. Malu …. Dok!” Ibu Samiyem berkata sambil menatap adik saya, tangannya saling meremas, gelisah. Adik saya mengangguk sambil tersenyum, memberinya semangat.

“Nama saya Samiyem … Nganu …. Dok ….. Malu jhe ….!!!” Kembali adik saya mengangguk memberinya semangat. Beberapa orang hadirin mulai mengejek, “Memange ada KB nganu tho?” Yang lain mengejek, “Ada KB malu tho?” Yang lain lagi berkata, “Ada KB jhe …!”

Adik saya mengangkat tangannya untuk menenangkan hadirin. Wanita itu, memandang suaminya, minta tolong, namun suaminya pura-pura tidak melihatnya. Setelah menarik nafas panjang, wanita bernama Pariyem itu membulatkan tekadnya. Dia menarik nafas sekali lagi lalu berkata hampir berteriak,

“Nama saya Samiyem. Saya ikut KB dingklik. Sudah 28 tahun, Alhamdulilah, SELAMAT!”  Samiyem langsung duduk sambil menyikut suaminya. Keduanya lalu menunduk sangat dalam.

Berbeda dengan kesaksian sebelumnya, kali ini tidak ada suara tepuk tangan sama sekali. Ruang pertemuan balai desa itu menjadi sepi, seolah kuburan. Apa yang disaksikan oleh Ibu Samiyem itu benar-benar di luar dugaan siapapun. Nampaknya semua hadirin bertanya-tanya, apa yang dimaksudkan oleh ibu Samiyem? Apakah aku salah dengar?

Perlahan-lahan keheningan itu pecah karena para hadirin mulai saling berbisik-bisik kemudian saling menggumam. Setelah mengangkat tangannya menenangkan hadirin, adik saya bertanya, “Ibu Samiyem bisa tolong jelaskan agar kita semua mengerti apa maksudnya?”

Suara-suara minta penjelasan pun menggema setelah adik saya berkata-kata. Adik saya kembali mengangkat tangannya, maka ruang pertemuan balai desa kembali senyap. Tanpa keraguan sedikit pun, Ibu Samiyem bangkit dan berkata, “Nganu dok. Suami saya kan lebih pendek dari saya, jadi kalau mau nganu dia pake dingklik. Nah, kalau lagi nganu dan pas dia mau nganu, tak tendang dingklik-e.”

NB.
Setiap kali menceritakan kisah itu, adik saya selalu berhenti sampai di situ. Itu sebabnya saya pun tidak tahu kelanjutan ceritanya.

 

2 thoughts on “KB Dingklik

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.