
Gambar: Youtube
Joas Adiprasetya: Penyesalan seorang yang mengikuti kelas saya dan menjadi bagian dari komunitas STT Jakarta. Semoga bisa menjadi sebuah “warning” bagi siapa saja yang tengah berpikir untuk masuk ke STT Jakarta.
Nindyo Sasongko: Satu semester hampir berlalu. UAS sudah mendekat. Penghujung semester sudah hampir tiba. Mendekati akhir semester ganjil ini, saya ingin menuliskan kembali sebuah refleksi selama menjadi seorang visiting scholar di STT Jakarta, yang ditugasi untuk mengasistensi dua kelas teologi sistematika dan konstruktif untuk mahasiswa strata 1 dan mendampingi kelas teologi kontekstual dan konstruktif program pascasarjana yang diampu Pdt. Joas Adiprasetya, selain penelitian dan menulis.
Sayangnya, kesan saya kini tidak terlalu bagus. Ada penyesalan yang mendalam kenapa satu semester ini saya harus berada di kelas Joas, dan penyesalan itu selalu teretas akibat adanya ketegangan antara dambaan dan kenyataan, antara asa dan realita. Saya menyesal ada di kelas Joas! Ada beberapa alasan yang dapat saya kemukakan.
Saya menyesal karena saya semula berpikir bahwa Joas akan memberikan satu arah teologi, satu patokan dan pijakan mana tradisi apa yang seharusnya dipegang oleh mahasiswa, satu dasar teologis yang telah teruji berabad-abad sehingga para mahasiswa pun tampil menjadi protegé-protegé Joas Adiprasetya. Ternyata tidak. Mau di bawa ke arah mana para mahasiswa yang duduk di kelas Joas?
Saya menyesal di kelas Joas karena sang dosen sering membuat bingung mahasiswa, dan kebingungan itu pun menjadi-jadi karena saya, asistennya, berasal dari latar belakang tradisi yang berbeda.
Bagaimana mungkin mahasiswa akan mendapatkan sesuatu dari matakuliah tersebut? Apa yang akan mereka bawa pulang? Perkataan siapa yang akan diikuti? Seperti ada seseorang yang dari luar STT Jakarta berkata kepada saya, tidakkah para mahasiswa S1 akan kebingungan dan tidak akan mempunyai fondasi yang kokoh dengan penataan kelas yang demikian?
Saya juga menyesal di kelas Joas karena saya sempat sangka bahwa Joas itu identik dengan STT Jakarta dan STT Jakarta adalah Joas. Karena itu Joas pastilah yang paling luar biasa dari semua dosen yang lain.
Sebenarnya, ada apa di kelas Joas?
Ketika seseorang masuk ke kelasnya, dan berharap sebuah gaya pembelajaran yang konvensional di mana dosen menjadi sumber ilmu pengetahuan dan mahasiswa adalah objek penjejalan ilmu, maka kelas Joas pastilah mengecewakan. Karena itu Joas memilih buku pegangan yang beragam. Ada antologi semacam Essentials of Christian Theology, sebuah bunga rampai yang disunting oleh William Placher (alm.), atau Constructive Theology, suntingan Serene Jones dan Paul Lakeland. Kuat dugaan saya bahwa bagi Joas, teologi merupakan sebuah simfoni, di mana tiap orang berkontribusi dari posisi teologis dan tradisi yang berbeda-beda tentang suatu locus theologicus. Sebab, bukan lagi waktunya bagi satu teolog untuk membuat sebuah bangunan sistematika yang komprehensif dan menulis multivolume dogmatika seperti zaman Bavinck, Barth, Brunner, Berkouwer dan Bloesch.
Maka, mahasiswa sebenarnya dituntut untuk mandiri dalam studi: membaca, belajar mengaitkan apa yang dibaca dengan yang diterangkan dan, yang tak kalah pentingnya, dengan tradisi dari mana mereka berasal. Inilah sebabnya di kelas Joas, seorang mahasiswa tidak dicetak untuk mengikuti satu tradisi mana pun, alih-alih tradisi itu merupakan yang terbaik, paling ortodoks, dan suara kebenaran. Salah pula bila orang menganggap gaya pengajaran yang seperti ini adalah gaya teologi liberal.
Berlawanan dengan itu, justru nilai dan penghargaan yang tinggi diberikan kepada tradisi gereja para mahasiswa–pendekatan yang sangat partikular, yang dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa akan tradisi ekklesialnya dalam interaksi dan dialog dengan tradisi-tradisi ekklesial yang berbeda. Dengan kata lain, setiap mahasiswa diundang untuk membawa pemikiran dari tradisinya masing-masing melalui interaksi-interaksi kelas.
Di kelas Joas, para mahasiswa juga harus menghargai posisi pijak orang lain (bisa dosen maupun rekan sejawat), bahan bacaan serta tradisinya sendiri. Pada saat yang sama, seorang mahasiswa, dalam perjumpaan dengan dosen dan bacaan, diajak untuk melihat ke luar, ke tradisi yang lain dan harap-harap dapat memiliki holy envy (istilah yang saya pinjam dari Krister Stendahl), yaitu kemampuan melihat keindahan dan kebenaran di tradisi Kristen lain tanpa menghakimi.
Di sini, setiap mahasiswa kerap kali ditarik untuk berjarak dari tradisinya sendiri dan mencermati secara kritis di mana saja tradisi ini perlu dirombak, ditransformasi atau diperkaya. Seperti yang dikatakan oleh Joas sendiri dalam sebuah kesempatan, bahwa seseorang perlu menjadi Kristen (Presbiterian, Lutheran, Kharismatik, dsb.) plus dan bukan minus (mengompromikan dan mengurangi tradisi Kristennya) setelah mengalami perjumpaan dan berinteraksi dengan tradisi-tradisi ekklesial yang lain. Atau, ia menjadi lebih mencintai dan semakin berkomitmen sungguh-sungguh terhadap tradisinya dalam arena kelas yang ekumenis dan multi-tradisi, namun bukan cinta yang buta.
Di kelas itu dosen tidak akan merepetisi apa yang seharusnya sudah dibaca oleh mahasiswa. Sebab itu, ketidaksiapan mahasiswa yang masuk ke kelas Joas, sekalipun tanpa adanya ancaman dari dosen, akan merugikan dirinya sendiri. Walau begitu, dan saya rasa Pak Joas akan setuju, bila mahasiswa bergairah untuk memelajari topik-topik sistematika dan teologi konstruktif, maka suatu saat kelak mereka akan kembali membaca buku-buku yang diwajibkan atau yang disarankan dalam kelas ini. Proses belajar teologi dan berteologi adalah proses seumur hidup, apalagi teologi sistematika dan konstruktif.
Keberanian Pak Joas untuk berduet dengan saya yang dari latar belakang tradisi yang berbeda memang berisiko. Namun, dalam mengajar di kelas, dapatlah ini dipandang sebagai sebuah pola cetak biru bagi mahasiswa teologi, bahwa teologi yang konstruktif itu adalah teologi yang dialogis. Dalam artian, para mahasiswa mendapatkan model konkret percakapan teologis yang asyik, saling mengisi dan mengayakan. Saya sendiri sedapat-dapatnya mengambil posisi yang lain dari Pak Joas, sehingga para mahasiswa diajak untuk melihat bahwa ada pandangan yang berbeda dan pandangan itu memang ada, real dan hidup di jemaat. Sekarang, bagaimana mengolah dua atau lebih ketegangan pandangan ini? Inilah tugas para teolog-teolog konstruktif yang sedang dalam pendadaran.
Dalam kaitan dengan ini, perlulah kami (kalau saya boleh mewakili Pak Joas juga) menyampaikan pengakuan dosa. Bukan hanya sekali atau dua, entah Pak Joas atau saya yang memancing percakapan antarkami berdua, di depan kelas, tentang sebuah topik baru, tokoh atau sebuah pemikiran yang berkembang atau ide riset yang dapat dikembangkan. Lontaran gagasan acapkali bersambut.
Sebagai contoh, Jumat kemarin kami mengajar tentang sakramen, dan saya menyinggung sedikit seorang teolog Ortodoks Timur Gennadios Limouris. Tiba-tiba saya, di hadapan mahasiswa di kelas, mengalihkan pandang kepada sang dosen dan berkata, “By the way, istilah liturgy after the liturgy itu adalah frase yang dikenalkan oleh Limouris; dan dia merasa Ion Bria mencuri darinya.” Maka di antara kami terjadi percakapan dan, ketika berbalik dan memandang wajah-wajah mahasiswa . . . flat, datar, tak berekspresi, sepertinya mereka bingung. Ya, kamilah penyebab ekspresi mereka itu. Ah, sungguh keterlaluan memang kedua dosen ini.
(Semoga para mahasiswa tidak terlalu kecewa. Sebagai absolusi [seperti bagian liturgi pascapengakuan dosa], kendatipun kelas sudah usai, saya percaya adanya session after the session, kelas di luar kelas. Kelas masih bisa dilanjutkan di luar pertemuan yang dibatasi empat dinding ruangan. Saya pasti senang jika ada mahasiswa yang menyambangi saya di kelas, di kantin, dan di mana saja untuk bertanya mengenai tugas, mengajak diskusi teologis atau bertanya tentang buku-buku. Sejumlah mahasiswa telah memanfaatkan ini.)
Yang terakhir, dan bagi saya ini yang paling penting: Joas Adiprasetya bukanlah segala-galanya di STT Jakarta. Saya cukup menyesal karena pada semester ini saya tidak berkesempatan untuk duduk dan menjadi pendengar di kelas-kelas lain yang diampu oleh pakar-pakar di bidangnya. Sebagai seorang visiting scholar, saat ini saya menjadi bagian dari sebuah komunitas para ahli dan terkategori terbaik di tanah air. Bukan hanya berkualitas dalam hal akademis dan intelektual, namun suasana kolegialitas, keramahtamahan dan kerja sama sangat terasa di komunitas ini.
Tanpa bermaksud mengecilkan kolega yang bergelar magister, saya semakin mengenal bahwa para dosen yang berpredikat doktor di STT Jakarta merupakan pribadi-pribadi yang sangat berkomitmen dalam bidang keilmuannya dan juga sarjana-sarjana yang aktif. Di bidang biblika, STT Jakarta memiliki Dr. Bambang Subandrijo, Dr. Samuel Hakh, Dr. Yonky Karman, Dr. Agustinus Setiawidi , dan Dr. Asigor Sitanggang.
Dalam bidang teologi sistematika selain Pak Joas ada pula Pak Simon Rachmadi yang sedang di tahap akhir penyelesaian disertasinya. Di bidang sejarah gereja STT Jakarta memiliki Prof. Jan S. Aritonang, Dr. Yusak Soleiman, di bidang etika ada Dr. Robert Borrong dan Dr. Binsar Pakpahan. Di bidang Pendidikan Kristiani ada Dr. Justitia Vox Dei Hattu, hukum gereja dan ekklesiologi Dr. Lazarus Purwanto, misiologi Dr. Septemmy Lakawa yang sedang menjadi peneliti tamu di Universitas Harvard, dan liturgika Dr. Ester Pudjo Widiasih yang sedang bertugas di kantor Dewan Gereja-gereja Sedunia di Jenewa, Swiss. Belum terhitung di sini dosen-dosen luar biasa STT Jakarta.
Karena itu, Joas Adiprasetya bukanlah satu-satunya di STT Jakarta. Salahlah jika mengidentikkan STT Jakarta dengan Joas. Joas hanya satu dari sekian pakar teologi dan pendeta yang diutus untuk menjadi pendidik di STT Jakarta. Joas akan kelu jika harus berbicara tentang bahasa asli Alkitab, sejarah, pendidikan Kristiani atau pastoral karena semua ini di luar kepakarannya.
Bila demikian, siapa pun yang ingin memperdalam ilmu teologi di STT Jakarta dengan orientasi pekerjaan apa pun di masa depan, sebenarnya memiliki banyak pilihan untuk belajar dengan para sarjana papan atas.
Pada zaman sekarang, “pelayanan” bukan lagi dapat disempitkan maknanya hanya kepada para pengerja gereja. Dunia pelayanan itu sangat luas dan pekerjaan Allah ada di mana-mana.
Kompleksitas globalisasi tidak hanya menuntut orang-orang menjadi pendeta dan gembala jemaat yang baik, terlatih dan pandai, namun pribadi-pribadi yang memiliki spiritualitas yang kuat guna mentransformasi dunia dan lingkungannya. Di sinilah teologi masih memiliki kekuatannya. Di sinilah fungsi dan signifikansi teologi untuk menolong seseorang guna menemukan Allah dalam segala sesuatu.
Dan bila pun seseorang masih dalam masa-masa pertimbangan (discernment), kelas-kelas di STT Jakarta selalu terbuka untuk menerima Anda sebagai tamu. Sila menghubungi dosen yang bersangkutan, datang dan ikutlah dalam kelasnya dan, jika ada waktu seusai itu, sempatkan pula bercakap-cakap dengan seorang dosen tentang maksud dan tujuan Anda.
Sungguh, tidak harus di kelas Joas, supaya Anda tidak menyesal seperti saya!
Bengcu Menggugat:
Nindyo Sasongko: Pada saat yang sama, seorang mahasiswa, dalam perjumpaan dengan dosen dan bacaan, diajak untuk melihat ke luar, ke tradisi yang lain dan harap-harap dapat memiliki holy envy (istilah yang saya pinjam dari Krister Stendahl), yaitu kemampuan melihat keindahan dan kebenaran di tradisi Kristen lain tanpa menghakimi.
Nindyo Sasongko: kemampuan melihat keindahan dan kebenaran di tradisi Kristen lain tanpa menghakimi.
Menghakimi = membandingkan sesuatu dengan STANDAR.
Hasil dari penghakiman adalah: INDAH atau JELEK. BENAR atau SALAH.
Melihat keindahan tanpa menghakimi? Mengakui kebenaran tanpa menghakimi? Itu namanya IMAN kali ye? ha ha ha ha ha ….. itu sebabnya suhu hai hai berkata, “Mahasiswa teologi diajari untuk beriman makanya setelah menjadi sarjana teologi mereka pun lupa untuk berpikir.”
Sekarang saya paham kenapa pendeta-pendeta GKI diam saja melihat anggota Majelis GKI Pengadilan Bogor melanggar HAM dan HUKUM serta TOLERANSI baragama dengan membangkang Keputusan MA dan Rekomendasi Ombudsman RI atas gereja GKI Yasmin serta kongkalikong dengan Walikota Bogor untuk mendzolimi GKI Yasmin. Ha ha ha ha … Pasti karena mereka melihat KEINDAHAN dan KEBENARAN dari tindakan anggota Majelis Jemaat GKI Pengadilan TANPA menghakimi, bukan? ha ha ha ha …..
Nindyo Sasongko: Sebab, bukan lagi waktunya bagi satu teolog untuk membuat sebuah bangunan sistematika yang komprehensif dan menulis multivolume dogmatika seperti zaman Bavinck, Barth, Brunner, Berkouwer dan Bloesch.
Karena bukan lagi waktunya, itu berarti multivolume buku-buku sistematika teologi yang ditulis para teolog tersebut di atas sudah TIDAK berguna lagi, bukan? Kenapa tidak dikiloin aja? lumayan bisa untuk beli kopi dan nasi goreng Ipan di depan STTJ. ha ha ha ha …
Nindyo Sasongko: Bagaimana mungkin mahasiswa akan mendapatkan sesuatu dari matakuliah tersebut? Apa yang akan mereka bawa pulang? Perkataan siapa yang akan diikuti?
Sekarang saya paham kenapa kualitas pendeta-pendeta GKI semakin hari semakin mengenaskan dan kotbah-kotbah di mimbar GKI semakin hari semakin pepesan kosong. Ha ha ha ha …. Itu karena mereka tidak mendapatkan sesuatu pun dan tidak membawa pulang apa pun serta tidak mengikuti perkataan siapa pun apalagi perkataan Yesus dan para rasul-Nya dari tempat kuliahnya di STT. ha ha ha ha ha …
Nindyo Sasongko: Inilah sebabnya di kelas Joas, seorang mahasiswa tidak dicetak untuk mengikuti satu tradisi mana pun, alih-alih tradisi itu merupakan yang terbaik, paling ortodoks, dan suara kebenaran. ….. Dengan kata lain, setiap mahasiswa diundang untuk membawa pemikiran dari tradisinya masing-masing melalui interaksi-interaksi kelas.
Saya mengerti sekarang kenapa Royandi Tanudjaya dan Arliyanus Larosa, ketua umum dan Sekum BPMS GKI 2010-2014 MEMALSUKAN Keputusan Raker BPMS GKI. Itu karena mereka tidak mengikuti tradisi GKI dan tradisi manapun namun membawa pemikiran dari tradisinya masing-masing. Ha ha ha ha ha ……
Ha ha ha ha ….. hai hai tidak menyesal namun prihatin. ha ha ha ha … Prihatin banget lho mas dan mbak bro.
Asyhadu an-laa ilaaha illallaah (Saya bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah), Wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah (dan saya bersaksi Muhammad SAW adalah Utusan Allah)
—————————————————————–
“ALLAH, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya“ (QS. Ali-Imran :2)
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran: 19)
“ Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi ” (QS. Ali Imran: 85)
——————————————————————
Saudara hai hai Bengcu yang saya hormati, saya mengajak saudara untuk segera memeluk agama Islam. Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang membawa manusia menuju surga. Terlebih, kita saat ini berada pada akhirzaman. Cepat ucapkanlah dua kalimat syahadat dan peluklah Islam, maka saudara akan mendapatkan jannah. Saya doakan semoga Saudara hai hai Bengcu segera mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Amiinn
Kisanak, terima kasih untuk tawarannya. Waktu kelas dua SD saya pernah mengucapkan kalimat Sahadat dan belum pernah menyangkalnya sampai sekarang dan nggak akan pernah menyangkalnya sampai mati. Anda BENAR. ISLAM adalah agama yang BENAR di SISI Allah. Namun ketahuilah bahwa Di hadapan Allah juga ada agama-agama lain yang BENAR.
BUKTI KEBENARAN ISLAM
Subhanallah, NASA Membenarkan Matahari Akan Terbit dari Barat!
Buruan taubat sebelum matahari terbit dari barat…taubat tidak di terima, astaghfirulloh alazhim….
“Tidak akan terjadi kiamat sehingga matahari terbit dari tempat terbenamnya, apabila ia telah terbit dari barat dan semua manusia melihat hal itu maka semua mereka akan beriman, dan itulah waktu yang tidak ada gunanya iman seseorang yang belum pernah beriman sebelum itu.” [Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah]
Matahari terbit dari Barat akan terjadi selama satu hari saja, kemudian tertutuplah pintu taubat. Setelah itu, gerakan matahari pun akan kembali seperti sebelumnya terbit dari timur sampai terjadinya kiamat. Ini sesuai dan dibenarkan oleh peneliti NASA
MATAHARI TERBIT DARI BARAT DIBENARKAN ILMUWAN FISIKA DAN MASUK ISLAM
Ilmuwan Fisika Ukraina Masuk Islam Karena Membuktikan Kebenaran Al- qur’an Bahwa Putaran Poros Bumi Bisa Berbalik Arah
Demitri Bolykov, sorang ahli fisika yang sangat menggandrungi kajian serta riset-riset ilmiah, mengatakan bahwa pintu masuk ke Islamannya adalah fisika. Sungguh suatu yang sangat ilmiah, bagaimanakah fisika bisa mendorong Demitri Bolyakov masuk Islam? Demitri mengatakan bahwa ia tergabung dalam sebuah penelitian ilmiah yang dipimpin oleh Prof. Nicolai Kosinikov, salah seorang pakar dalam bidang fisika. bahwasanya diriwayatkan dalam sebuah hadis dari nabi saw yang diketahui umat Islam, bahkan termasuk inti akidah mereka yang menguatkan keharusan teori tersebut ada, sesuai dengan hasil yang dicapainya. Demitri merasa yakin bahwa pengetahuan seperti ini, yang umurnya lebih dari 1.400 tahun yang lalu sebagai sumber satu-satunya yang mungkin hanyalah pencipta alam semesta ini. Teori yang dikemukan oleh Prof. Kosinov merupakan teori yang paling baru dan paling berani dalam menfsirakan fenomena perputaran bumi pada porosnya. Kelompok peneliti ini merancang sebuah sempel berupa bola yang diisi penuh dengan papan tipis dari logam yang dilelehkan , ditempatkan pada badan bermagnit yang terbentuk dari elektroda yang saling berlawanan arus. Ketika arus listrik berjalan pada dua elektroda tersebut maka menimbulkan gaya magnet dan bola yang dipenuhi papan tipis dari logam tersebut mulai berputar pada porosnya fenomena ini dinamakan “Gerak Integral Elektro Magno-Dinamika”. Gerak ini pada substansinya menjadi aktivitas perputaran bumi pada porosnya. Pada tingkat realita di alam ini, daya matahari merupakan “kekuatan penggerak” yang bisa melahirkan area magnet yang bisa mendorong bumi untuk berputar pada porosnya. Kemudian gerak perputaran bumi ini dalam hal cepat atau lambatnya seiring dengan daya insensitas daya matahari. Atas dasar ini pula posisi dan arah kutub utara bergantung. Telah diadakan penelitian bahwa kutub magnet bumi hingga tahun 1970 bergerak dengan kecepatan tidak lebih dari 10 km dalam setahun, akan tetapi pada tahun-tahun terakhir ini kecepatan tersebut bertambah hingga 40 km dalam setahun. Bahkan pada tahun 2001 kutub magnet bumi bergeser dari tempatnya hingga mencapai jarak 200 km dalam sekali gerak. Ini berarti bumi dengan pengaruh daya magnet tersebut mengakibatkan dua kutub magnet bergantian tempat. Artinya bahwa “gerak” perputaran bumi akan mengarah pada arah yang berlawanan. Ketika itu matahari akan terbit (keluar) dari Barat !!! Ilmu pengetahuan dan informasi seperti ini tidak didapati Demitri dalam buku-buku atau didengar dari manapun, akan tetapi ia memperoleh kesimpulan tersebut dari hasil riset dan percobaan serta penelitian. Ketika ia menelaah kitab-kitab samawi lintas agama, ia tidak mendapatkan satupun petunjuk kepada informasi tersebut selain dari Islam. Ia mendapati informasi tersebut dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
“Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari Barat, maka Allah akan menerima Taubatnya.” [dari kitab Islam wa Qishshah]
Hal itu dikuatkan lagi dengan riwayat : “Sesungguhnya matahari dan bulan akan bersinar lagi setelah itu, dan kemudian terbit dan terbenam pada manusia seperti biasanya”.
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Manusia tinggal di bumi setelah terbitnya matahari dari arah barat selama 120 tahun”.
Ayo Saudara hai hai Bengcu, peluklah agama Islam sebelum matahari terbit dari sebelah barat.
sekali lagi, terima kasih tawarannya, mas.
LOL HAHAHA
entah kenapa, baca artikel ini, merasa sepakat dengan bengcu.
saya melihat pendeta-pendeta GKI cuma mencari aman,
yg penting posisi mereka tidak terancam, tidak berani
menentukan benar/salah. tidak berani menghakimi (dengan benar).
HAHAHA
klo bener video dari nasa, masa di terminated sama youtube mas ?
Kalau sudah bicara soal perut (+rumah+mobil+pelengkap) ya begitulah……..
kekekkkkkk ikkiikkkiii ekekekkkkkekkkk
Pendeta-pendeta itu yang penting cukup punya duit. Itu sudah cukup. ha ha ha ha …