Happy Lee Dan Para Pelintas Batas


Gambar: Elyus

Gambar: Elyus

Elyus So tinggal di Medan. Tanggal 23 Januari 2014 yang lalu dia merayakan ulang tahun ke 49 dan selamatan rumah barunya yang sekaligus dijadikannya kantor Persatuan Tunadaksa Indonesia. Merayakan ulang tahun ke 49 adalah hal biasa namun selamatan rumah baru benar-benar istimewa baginya, itu sebabnya dia merasa perlu mengundang hai hai dan Happy Lee yang tinggal di Jakarta untuk ikut serta merayakannya. Kenapa demikian? Karena itu adalah rumah pertama miliknya. Tanahnya dibeli dan rumahnya dibangun dengan uangnya sendiri hasil kerja kerasnya selama ini. Berumur 49 tahun baru punya rumah sendiri. Istimewakah? Benar. Elyus So seorang perempuan. Ketika berumur delapan bulan dia kena POLIO sehingga kedua kakinya lumpuh. Sejak itu dia tidak bisa berjalan.

Karena kesibukannya, hai hai dan Happy Lee tidak bisa hadir namun berjanji akan mampir bila pulang kampung berikutnya. Tanggal 25 Januari 2014 hai hai dan Happy Lee pulang kampung untuk mengantar naga kedua terbang ke langit (tiantang 天堂). Naga kedua adalah gelar yang hai hai berikan untuk pamannya (juga paman Happy Lee) yang bulan Oktober 2013 yang lalu merayakan ulang tahunnya yang ke 91. Orang Tionghoa percaya, ketika seseorang meninggal, tubuhnya membusuk jadi tanah namun jiwanya terbang ke sorga menghadap Tian (Yang Maha Tinggi). Itu sebabnya dikatakan, melayat adalah mengantar almarhum terbang ke langit.

Karena sudah berjanji kepada Elyus So untuk mampir ke rumahnya saat pulang kampung berikutnya, maka hai hai dan Happy Lee serta Lauser Gani pun menepatinya. Dalam perjalanan ke bandara Kualanamu untuk pulang ke Jakarta kami mampir ke rumahnya.

“Jl. Batang Kuis, Tembung Pasar 10, di seberang pom bensin, masuk ke Jl. Karya Pelita, sampai Madrasah lalu belok kanan, belok ke Jl. Sarawak, rumahnya nomor 5, atapnya berwarna hijau, motor-motor roda tiga kami terparkir di halamannya.” Itulah petunjuk Elyus tentang alamat rumahnya.

Tidak sulit untuk menemukan rumah Elyus So. Jam 14.16 WIB kami sampai di rumahnya. Elyus So, Tina, Rosminta, bapak Simorangkir, Binner Tindaon, Eko Samuel Tampubolon sudah menunggu. Hampir bersamaan dengan kami sampai  pula Lintang Siahaan dengan motor roda tiganya.

Elyus So, Tina dan Rosminta menderita polio waktu kecil. Tina dan Rosminta membiayai hidupnya sebagai penjahit. Bapak Simorangkir dan Binner Tindaon menderita kecelakaan sehingga kehilangan kaki kirinya. Bapak Simorangkir adalah seorang peternak babi sedangkan Binner Tindaon adalah pengusaha bengkel motor dan ahli modifikasi motor roda tiga bagi tunadaksa. Kami mengagumi motor modifikasinya bagi Eko Samuel Tampubolon yang menderita lumpuh dari pinggang ke bawah sehingga hanya bisa mengoperasikan motor dengan kedua tangannya. Motor tersebut bisa mundur dan lantainya bisa diturunkan hingga sejajar dengan tanah. Itu sebabnya Eko yang lumpuh dari pinggang ke bawah bisa menaiki motor dengan kursi rodanya tanpa bantuan orang lain. Eko adalah seorang guru les yang sedang dalam proses menjadi pedagang. Rukonya sudah jadi namun dia belum mulai jualan.

Modifikasi yang dilakukan oleh Binner Tindaon benar-benar kreatif dan tepat guna. Setelah bertanya ini itu, Happy Lee melampiaskan kekagumannya dengan berjanji membelikan mesin las listrik. Binner Tindaon ngakak senang mendengar penjelasan Happy Lee tentang spesifikasi mesin las yang akan diberikannya. Dia bilang belum memiliki mesin las seperti itu dan memang membutuhkannya.

“Apa yang anda lakukan?” tanya hai hai kepada bapak Simorangkir. “Saya beternak B2.” Jawabnya. “Sudah berapa lama bapak beternak BEBEK?” Sambar Happy Lee.  Simorangkir menatap Happy Lee bingung dan berkata, “Saya tidak beternak BEBEK pak. Saya peternak B2.” Happy Lee ngakak dan ngejeblak, “BEBEK kan B-nya dua?” Kami semua ngakak.  Ha ha ha ha ha ha …..

“Suatu hari, motor saya rantainya putus. Setelah telepon teman untuk membawakan rantai. Saya pun menunggu. Seorang ibu menghampiri saya untuk menolong. Karena dia bertanya apa yang saya alami, saya pun menjelaskan kepadanya apa terjadi. Ketika melihat kondisi saya yang lumpuh dari pinggang ke bawah dia pun mengungkapkan rasa kasihannya akan kondisi saya. Dia dan beberapa orang lainnya menawarkan bantuan rantai untuk motor saya. Saya mengucapkan terima kasih dan menolaknya serta memberitahu mereka bahwa teman saya sedang dalam perjalanan dengan membawa rantai untuk motor saya.” Lintang Siahaan menceritakan pengalamannya.

Lebih lanjut, Lintang bercerita, tiba-tiba ibu itu berkata, “Bang, saya sering lihat teman abang di lampu merah. Kalau boleh tahu selama ini abang mangkal di mana ya?” Kami langsung ngakak terpingkal-pingkal mendengar ceritanya. Ha ha ha ha ha …. “Hai Ibu, anda salah sangka, dia bukan temannya. Ha ha ha ha ha ha …..” hai hai buka mulut sehingga tawa semakin menggema.

Ketika tawa kami agak reda, Lintang melanjutkan, “Ala mak, saya tidak menyalahkan ibu itu namun menyesali kondisi yang saya alami.  Saya lalu beritahu ibu itu bahwa saya cari makan sebagai pemain organ tunggal, bukan mangkal minta-minta di lampu merah. Ibu itu benar-benar merasa bersalah. Dia minta maaf berulang-ulang.”

“Wah bang Siahaan seharusnya bagi-bagi kartu nama seperti Jokowi dan Ahok. Dengan demikian orang-orang itu bisa cerita ke teman-temannya, aku punya kenalan dia lumpuh tapi dia bukan teman yang mangkal di lampu merah itu lho?! Dia pemain organ tunggal. Ini kartu namanya” Hai hai nyeletuk dan kembali tawa menggema.

Ketika tawa reda, hai hai berkata, “Kawan-kawan, mohon maaf tanpa mengurangi rasa hormat, kebanyakan orang normal tidak tahu bagaimana harus bersikap menghadapi orang-orang cacat sebab jarang ketemu apalagi berinteraksi. Itu sebabnya ketika bertemu dengan orang-orang cacat mereka merasa GALAU dan menafsirkannya sebagai rasa KASIHAN. Kitalah yang harus mendatangi orang-orang normal itu. Dengan demikian mereka tahu bahwa kita hanya sesama manusia yang nggak kalah lucu bahkan nggak kalah gaya.” Teman-teman mengangguk-angguk menyimak apa yang dikatakan hai hai.

“Sekarang lagi musim tato. Itu sebabnya barang siapa puntung, jangan ragu-ragu menato kaki atau tangan palsunya.” Teman-teman menatap hai hai, beberapa detik kemudian semuanya ngakak.

“Kita boleh kalah tubuh namun tidak boleh kalah gaya.” Hai hai menegaskan. “Bayangkan. Tangan palsu. Ada tatonya dan dan tulisan: Ini tangan palsu.” Suara ngakak semakin membahana. “Bayangkan. Kaki palsu. Ada lampunya. Kelap-kelip.” Ha ha ha ha ha …

Ketika Happy Lee bertanya kepada Binner Tindaon yang kaki kirinya diamputasi tinggal pahanya saja, “Bagaimana dengan sepatu pak. Kalau beli sepatu, yang satu lagi untuk apa pak?”  Pak Simorangkir yang kaki kanannya hanya sepaha pun bercerita.

“Hari itu saya ke rumah pendeta. Dari dalam kutengok mamaknya menyapu di halaman. Dilihatnya sepatu saya, mamaknya bingung. Mungkin dia pikir, ini sepatu kok tinggal satu? Mungkin dia pikir digigit anjingnya itu sepatu. Dicari-carinya itu. Dipanggilnya anjingnya lalu diikutinya anjing itu. Mana tahu ditunjukkannya sepatu itu, kan. Saya diamlah. Biarlah dicari-carinya kan. Akhirnya mamaknya putus asa lalu dia masuk dan bilang, “Nak, maaf ya, anjing sini lasak kali, suka gigitnya sepatu. Rupanya sepatu anak digigitnya entah ke mana? Kucari-carinya tapi tak ada. Maaf ya nak.” Semua orang yang ada di ruang itu pun nengok aku lalu tertawalah kami. Ha ha ha ha ha …..”

Elyus so bercerita tentang penolakan-penolakan yang diterimanya waktu mulai mendatangi sesama tunadaksa. Menurutnya Binner Tindaon pun menolaknya ketika didatangi. Teman-teman yang lain pun bilang, awalnya mereka tidak suka kepada sesama tunadaksa. Pokoknya mereka tidak suka.

“Satu orang cacat adalah masalah. Dua orang cacat pasti malapetaka. Itukah sebabnya orang cacat tidak mau ketemu orang cacat lainnya?” hai hai berkata. Ketika tawa reda hai hai melanjutkan.

“Saya sering mengatakan kepada teman-teman yang cacat, jadi saya akan mengatakannya lagi sekarang dan tolong beritahu teman-teman yang lainnya. Cacat hanya berarti kita HARUS melakukannya dengan CARA berbeda. Itu sebabnya mari kita bahu membahu MENCARI caranya. Setelah tahu caranya maka kamu, segeralah membina diri untuk melakukannya.” Teman-teman diam mencernakan ucapan itu dan hai hai mengulanginya sekali lagi.

“Siapa bilang dunia ini adil? Orang cacat harus dua kali lebih hebat dari orang normal bila mau dihormati oleh orang-orang normal. Apabila orang normal melakukan kesalahan maka dia hanya akan dimarahi. Namun, bila orang puntung tidak melakukannya dengan sempurna, maka dia akan dimaki: Dasar puntung nggak tahu diuntung!”

“Sama seperti orang cacat, orang normal pun tidak diajari cara untuk memperlakukan orang cacat. Sama seperti orang cacat, orang normal pun tidak mau bertemu dengan orang cacat karena tidak tahu cara memperlakukannya dengan benar. itu sebabnya kita yang sudah tahu caranya harus mengajari dunia cara memperlakukan orang cacat yaitu menerimanya apa adanya. Orang cacat harus tabah. Keluarga harus mendukungnya dan masyarakat harus memberi kesempatan. Dari mana kita memulainya? Mulailah dengan sering-sering tampil di masyarakat. Jangan ragu-ragu untuk ngerumpi ke mall-mall. Hadirilah semua undangan pesta.” Hai hai memberi kuliah.

“Aku dilarang masuk oleh Satpam.” Tina bercerita. “Waktu kupaksa satpam itu bilang: Kalau kubiarkan kau masuk nanti aku dipecat. Kalau aku dipecat sanggup kau gantinya?” Tina menatap kami lalu melanjutkan ceritanya. “Ku bilang pada satpam itu: Jangan kan kau, bapak kau pun sanggup kubeli.” Tina ngakak. Kami pun ngakak.

Elyus So bilang, “Aku pernah dilarang masuk. Aku bilang sama satpamnya: Kalau kau tidak kasih aku masuk. Aku bikin acaranya tidak bisa berjalan. Kalau tidak percaya tanya panitianya. Asal kau tahu, akulah koordinator acara untuk para penyandang cacat ini.

Teman-teman yang lain pun bercerita tentang kesulitan mereka mencari tempat parkir. Di tempat parkir mobil mereka ditolak karena roda tiga. Di tempat parkir motor mereka ditolak karena dianggap becak. Meskipun akhirnya mendapat tempat parkir namun hal itu terjadi setelah mereka memaksa petugas parkir untuk bertanya kepada atasannya.

Hai hai lalu mengusulkan agar teman-teman minta Kartu Dispensasi ke Gubernur atau ke Kapolda. “Minta Kartu Dispensasi ke Gubernur atau Kapolda. Minta Gubernur atau Kapolda untuk mensosialisakan Kartu Dispensasi itu kepada masyarakat lewat mas media dan surat-surat ke instansi-instansi terkait. Saya yakin Gubernur dan Kapolda mau melakukannya. Kalau Kapolda dan Gubernur tidak mau melakukannya, kita minta bantuan DPRD untuk memotivasi mereka. Karena disosialisasikan masyarakat jadi tahu. Dengan demikian maka setiap orang yang memegang Kartu Dispensasi tidak akan dihalangi lagi untuk masuk ke suatu area dan parkir.” Teman-teman menilai ide demikian bagus sekali. Mereka akan segera memprosesnya.

Di rumah Elyus So, asyik sekali. Lauser Gani dan Happy Lee mengeluarkan suling mereka dan memainkan lagu. Setelah mereka hai hai juga mengeluarkan sulingnya dan mainkan lagu, “dunia yang fana bukanlah rumahku” dan “Kasihnya seperti sungai” teman-teman ikut bernyanyi. hai hai juga mengeluarkan suling sundanya dan memainkan beberapa lagu.

Jam 16.30, hai hai dan Happy Lee serta Lauser Gani harus segera ke bandara Kualanamu untuk pulang ke Jakarta naik pesawat jam 18.00. Siwin yang mengantar kami ke rumah elyus So, dia pula yang mengantar kami ke bandara. Hai hai meninggalkan suling sunda dan suling philipinanya di rumah Elyus So dengan harapan teman-teman bisa memainkannya. Hai hai juga berikan satu suling Philipinanya kepada Lintang Siahaan si pemain organ tunggal.

Orang cacat harus tabah. Handai taulan mendukungnya dan masyarakat memberi kesempatan. Dengan cara demikianlah kita menjadi satu tubuh umat manusia banyak anggota.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.