
Gambar: http://www.adsrex.com
Iis (ini istri saya) bilang, kalender 2014 persis sama hari-harinya dengan kalender 1997. “Saya sudah memeriksanya. Persis sama.” Kata Iis sambil menunjukkan kalender 2014 kepada saya dan menunjuk tanggal 25 Januari 2014, hari Sabtu dan tanggal 26 Januari 2014, hari Minggu dengan jarinya sambil berkata, “Tuh kan sama? Ini hari nikah kita.” Saya menatap Iis lalu menatap tanggal yang dia tunjukkan. Menatap Iis lagi lalu menatap kalender yang dia tunjukkan. Ada sesuatu yang tidak benar, namun saya diam.
Setelah Iis pergi, aku menulis: Tanggal 26 Januari 1997, hari Sabtu, sore, di GKI Samanhudi, di hadapan banyak saksi, saya memeluk mama erat sekali dan lama sekali lalu berkata dekat telinganya, “Ma, tui boi khi!” artinya, “Ma, maafkan aku!” Itu terjadi beberapa saat setelah saya mengucapkan janji nikahku. Tanggal 27 kami merayakannya dengan sebuah pesta.
Saya lalu membandingkan tanggal yang saya tulis di atas dengan tanggal pada kalender 2014 yang ditunjukkan Iis. Tanggal 26 Januari 2014 adalah hari Minggu padahal dulu, pemberkatan nikah kami dilakukan pada hari Sabtu. Tanggal 27 Januari 2014 adalah hari Senin padahal pesta nikah kami dulu hari Minggu.
Setelah yakin tidak akan terjadi perubahan meskipun terus membandingkannya, saya pun mencari Iis. Dia ada di dapur, sedang mencuci mangkok bekasnya makan asinan Bogor yang dia beli hari Minggu kemarin setelah jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor bersama anak kami untuk melihat bunga Rafflesia Patma (bunga bangkai) yang sedang mekar. Saya tidak ikut sebab ikut kebaktian bagimu negeri di depan istana dengan GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Saya lalu bertanya, “Pemberkatan nikah kita tanggal 25? Kok saya ingatnya tanggal 26 ya?” Menatap saya, iis bilang, “Pemberkatan tanggal 25, resepsi tanggal 26.” Saya meninggalkannya, kembali ke ruang kerja.
Beberapa saat kemudian iis nongol di pintu ruang kerja, “Tanggal 26,” katanya sambil menunjukkan kartu pembatas buku yang kami berikan sebagai ucapan terima kasih kepada tamu-tamu yang menghadiri pesta nikah kami dulu. Saya tersenyum dan mengangguk. Iis berlalu, kurang dari dua menit, dia kembali sambil menunjukkan kartu undangan nikah kami dulu.
Undangan
Minggu, 26 Januari 1997
hai hai
iis
“Ketika Tuhan larut dalam asmara diciptakannya “hai hai” dan “iis” dengan setengah cinta di hati masing-masing dan diletakkannya seuntai titah ‘tuk saling mencari, satukan dan kecup asmara dalam-dalam hingga tiada lagi celah untuk kata kau dan aku sekalipun.”
Kepada Yth,
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari
Tulisan-tulisan tersebut di atas tercetak di amplopnya. Dan, inilah ANCAMAN yang tercetak di lidah amplop ketika dibuka:
“Dengan tidak mengurangi rasa hormat, ungkapan tanda kasih yang mungkin bapak/ibu/saudara/saudari berikan akan lebih bermanfaat bagi kami apabila tidak berupa karangan bunga atau cindera mata.”
Iis lalu menunjukkan kepada saya kartu undangannya yang bergambar dua ekor burung gelatik yang hinggap di dahan pohon yang tumbuh di pinggir danau. Tercatat dengan gamblang sekali bahwa pemberkatan nikah kami tanggal 25 Januari 1997, Jam 18.00 WIB di GKI Samanjudi. Pesta nikah kami tanggal 27 Januari 1997.
Handai taulanku sekalian, aneh bin ajaib? Benar! Aneh bin ajaib. Entah sejak kapan, namun seingatku, aku selalu ingat permberkatan nikah kami dilakukan tanggal 26 Januari 1997 dan pesta nikahnya tanggal 27 Januari 1997. Kedua tanggal itulah yang selama ini aku katakan kepada handai taulan. Kisah inilah yang selalu aku ceritakan kepada banyak orang.
“Tanggal 26 Januari 1997, hari Sabtu, sore, di GKI Samanhudi, di hadapan banyak saksi, saya memeluk mama erat sekali dan lama sekali lalu berkata dekat telinganya, “Ma, tui boi khi!” artinya, “Ma, maafkan aku!” Itu terjadi beberapa saat setelah saya mengucapkan janji nikahku. Tanggal 27 kami merayakannya dengan sebuah pesta.”
Dan ketika yang mendengar ceritaku bertanya, “kenapa minta maaf kepada mamamu?” Saya pun memejamkan mata mengenang kejadian itu lalu berkata, “Aku lahir tanggal 13 Februari, menikah tanggal 26 Januari. Saat menikah aku hampir 33 tahun. Setua itu masih belum mampu membahagiakan mamaku namun nekad berjanji untuk membahagiakan mama anakku. Benar-benar keterlaluan, itu sebabnya minta maaf kepada mama. Ma, tui boi khi!”
Bagi saya menikah adalah hal terpenting setelah dilahirkan, itu sebabnya harus disimpan kenangannya. Makanya Selain pembatas buku, kartu undangan, saya juga menyuruh iis menyimpan kertas berisi janji nikah kami.
Janji Mempelai
Saya …….. mengaku dan menyatakan di sini di hadapan Allah dan Jemaat-Nya bahwa saya mengambil ……… sebagai istri saya yang sah dan sebagai suami yang beriman saya akan tetap mengasihi dan melayaninya pada waktu suka mau pun duka, pada waktu kelimpahann mau pun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit dan akan memeliharanya mendampinginya dengan setia.
Saya berjanji menuntut hidup suci dengan istri saya dengan menyatakan kesetiaan dan iman saya di dalam segala hal kepadanya sesuai dengan firman Tuhan.
Saya berjanji akan menuntut hidup suci dengan istri saya dan menyatakan kerelaan saya dalam kesetiaannya tetap berbakti kepada Tuhan yesus Allah dan orang tua, serta atas karunia-Nya mendidik anak takut berbakti kepada Tuhan Yesus Kristus Allah dan orang tua.
Saya tidak suka kata “memelihara” itu sebabnya mengantinya dengan kata “mendampingi” Saya juga tidak suka frasa “berbakti kepada Tuhan Yesus” makanya menggantinya dengan frasa “berbakti kepada Allah dan orang tua.” Saya pun tidak suka dengan frasa, “mendidik anak takut kepada Tuhan Yesus Kristus,” itu sebabnya mengeditnya menjadi “mendidik anak berbakti kepada Allah dan orang tua”
Kenapa saya menggunakan istilah “berbakti kepada Allah dan orang tua”? Karena sebagai seorang Tionghoa Kristen saya percaya, orang tua adalah GAMBAR dan RUPA Allah yang tidak kelihatan. Mustahil berbakti kepada Allah yang tidak kelihatan tanpa berbakti kepada orang tua yang kelihatan.
Kata berbakti dalam bahasa Hokkien adalah hao (mandarin: xiao) 孝. banyak orang menafsirkan aksara hao. Menurut mereka, aksara hao terdiri dari dua aksara yaitu: lao 耂 (tua) dan kia子 (anak). Itu sebabnya mereka mengajarkan bahwa melalui aksara hao, leluhur Tionghoa mengajarkan bahwa berbakti adalah seorang anak mendukung orang tuanya.
Tentu saja ajaran demikian ngaco belo. Aksara lao 耂 adalah huruf dasar ke 125 yang tidak punya arti sama sekali sedangkan yang disebut lao 老 (tua) adalah kata sifat. Ayah dalam bahasa mandarin adalah fu 父 sedangkan ibu adalah mu 母. Ayah bunda adalah fumu 父母. Sementara itu laoren 老人 (orang tua), tidak pernah digunakan untuk menyebut ayah bunda. Laoren (orang tua) digunakan untuk menyebut orang asing yang lanjut usianya.
Tentu saja saya tidak menggugat format janji nikah GKI yang disodorkan kepada kami untuk dihafalkan juga tidak menyuruh iis mengeditnya sebab saya baru membaca janji nikah itu di lembar acara pemberkatan nikah beberapa saat sebelum pernikahan berlangsung, mengeditnya langsung menghafalkannya. Dan ketika janji nikah diucapkan, baik pendeta maupun majelis Jemaat memakluminya.
happy Valentine’s day dear,
ketika tuhan larut dalam asmara,
diciptakannya laki-laki
dan perempuan,
dengan separuh cinta
di masing-masing hati
terbungkus labirin
diselipkannya seuntai
titah
agar saling mencari,
menemukan
satukan dan kecap
sari cinta puas-puas
laki-laki dan perempuan pun tak
sabar
dan membentuk cinta
dari gema-gema
yang getarnya ‘kan
mematahkan hati,
meremukan tulang
kala membentur
bengcu
Ho ho ho ho, ternyata iis menyimpan kedua kartu valentine itu dengan baik. Meskipun kedua kartu itu persis sama gambarnya, gambar kupu-kupu namun puisinya beda dan nama yang digunakan untuk menandatanginya juga berbeda. Tidak ada tanggal juga tidak ada tahun di kedua kartu valentine tersebut. Ketika dulu iis mempermasalahkan kartu yang pertama, saat itu saya berkata kira-kira begini,
“Sudah bertahun-tahun, setiap tahunnya, saya hanya memberi 13 kartu lebaran, 13 kartu ulang tahun, 13 kartu tahun baru, 13 kartu tahun baru Imlek dan 13 kartu paskah. Kalau pun tidak mendesignnya sendiri maka kartu-kartu itu tetap istimewa karena setiap kartu saya pilih dengan segenap hati dan hati-hati khusus untuk seseorang. Kata-katanya pun hanya khusus untuk seseorang. Tidak ada tanggal dan tahun agar tidak pernah kadaluarsa. Kalau tahun depan saya tidak memberimu kartu valentine, keluarkanlah kartu ini, maka ketika melihatnya kamu akan merasa menerima kartu dari saya.”
happy Valentine’s day dear, iis
ketika tuhan larut dalam asmara,
diciptakannya hai hai dan iis
dengan separuh cinta di masing-masing hati
terbungkus labirin
diselipkannya seuntai titah
agar saling mencari, menemukan
satukan dan kecap
sari cinta puas-puas
hai hai dan iis tak sabar;
masing-masing membentuk cinta dari
gema-gema yang getarnya
mematahkan hati, meremuk tulang kala
membentur pilar-pilar waktu
kala saling menemukan,
hai hai dan iis pun berjanji
‘kan mengembara meniti pelangi
arungi langit biru tanpa tepi di mana
luka dan perih hanya tinggal
menjadi sebuah desah tanpa makna
hai hai & his love
Ketika iis mempermasalahkan tanggal dan tahun, saat itu saya berkata, kira-kira begini, “Tidak ada tanggal dan tahun agar tidak pernah kadaluarsa. Kalau suatu hari nanti saya berhenti memberimu kartu saat itu kamu bisa menatap kartu ini dan berkata, dulu dia romantis lho!”
Seharusnya, semakin tua suami istri semakin romantis dan pandai menyatakan cinta karena semakin sering melakukannya semakin ahli. Bila demikian, kenapa kebanyakan suami istri tidak romantis lagi bahkan berhenti saling menyatakan cinta? Karena merasa TERIKAT maka keduanya pun LUPA cara untuk MEMIKAT. Ketika suami rindu untuk memikat, dia menyangka istrinya sudah terlalu tua untuk dipikat.
Nice story Koh 🙂
*Sama tanggal 26 dgn tgl pernikahan saya dan istri….beda bulan doang, kami di Juni.
thanks pujiannya.
Menarik sekali, sy usia 36 baru menikah bulan nov lalu…..jadi sadar betapa saya blm membahagiaka ortu…..
Dan valentine depan kalau bisa sy mau ikutan ah….bikin puisi….siapa tau menarik buat istri saya….
silahkan bang. saya mendukung anda 100%. bahagiakan orang tua dan anak istri anda.
Boleh-boleh saja sih setiap Tahun memberi kartu ucapan sampai 13x , memberi 13 kartu lebaran, 13 kartu ulang tahun, 13 kartu tahun baru, 13 kartu tahun baru Imlek dan 13 kartu paskah.
TAPI KARTU UCAPAN NATALNYA MANA !!!!!!!!!!! (teriak Iis kepada suaminya Haihai ,Papa tidak adil dan BOHONG) KEHEKEKEKEKEKEKEKKEKEKEKEKKEKKE
Christmas is the beginning of sorrow. no card.
“Setelah Iis pergi, aku menulis: Tanggal 26 Januari 1997, hari Sabtu, sore, di GKI Samanhudi, di hadapan banyak saksi, saya memeluk mama erat sekali dan lama sekali lalu berkata dekat telinganya, “Ma, tui boi khi!” artinya, “Ma, maafkan aku!” Itu terjadi beberapa saat setelah saya mengucapkan janji nikahku. Tanggal 27 kami merayakannya dengan sebuah pesta.
Saya lalu membandingkan tanggal yang saya tulis di atas dengan tanggal pada kalender 2014 yang ditunjukkan Iis. Tanggal 26 Januari 2014 adalah hari Minggu padahal dulu, pemberkatan nikah kami dilakukan pada hari Sabtu. Tanggal 27 Januari 2014 adalah hari Senin padahal pesta nikah kami dulu hari Minggu.”
Beneran sama Ntong. Liat kalendar arab kali jadi beda. tahun 1997 sama tahun 2014 posisi tanggal pada harinya. Hati-hati keblinger loh.
wow… gak nyangka loh…suhu segitu romantisnya…. sekarang kok kaya… yah biar pemirsa aja dah yg nilai…wakwakwakwakkwakawkwakawkwkak
ha ha ha ha ha …