Tahun Ini Nenek Genap berumur 102 Tahun


NENEK, aku tidak tahu namanya, semua orang di kampungku memanggilnya nenek. Aku sudah bertanya kepada banyak orang dan tak seorangpun yang tahu siapa namanya. Namun, di kampungku, tidak ada satu orang pun, baik tua maupun muda bahkan anak-anak yang tidak mengenalnya. Ayahku berumur 68 tahun, menurutnya, ketika dia dewasa, nenek sudah dipanggil nenek. Salah satu pamanku, kakak kedua ayahku umurnya 85 tahun, beberapa tahun yang lalu menjelaskan, bahwa nenek sudah dewasa ketika dia masih anak-anak. Beberapa orang tua di kampungku yang berumur di atas 75 tahun sepakat, nenek jauh lebih tua dari mereka. Beberapa hari yang lalu aku dan Happy Lee berjumpa dengannya, saat itu nenek berkata, umurnya tahun ini genap 102 tahun.

Ketika meninggalkan kampungku akhir tahun 1970 saat itu aku berumur 6 tahun. Ketika kembali ke kampungku bersama Happy Lee pada tahun 2003 untuk menghadiri pemakaman pamanku, kakak ketiga ayahku, siang itu kami bertemu dengan nenek yang mampir untuk menjual tape. Aku hanya ingat dia dulu menjual tape namun tidak ingat wajahnya sama sekali. Dia tidak kenal aku, namun dengan dua kali tebakan dia tahu siapa ayahku, bahkan dia juga tahu adik siapa ibuku dan nama ayah Happy Lee. Kami ngobrol seolah sahabat-sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu sementara dia menghitung jumlah tapenya yang belum terjual karena Happy Lee berjanji untuk memborongnya.

Saya lupa berapa harga tapenya saat itu, sekitar tujuh ribu sekian ratus rupiah. Sambil tersenyum saya bertanya apakah boleh menawar? Dia memandangku heran sebab di kampungku tidak ada orang yang menawar harga tapenya, saya membalas tatapan matanya mantap, “Boleh nawar nek?” Dia menatap saya ragu, saya menekan dengan yakin tanpa peduli handai taulan yang menatap heran, termasuk Happy Lee. “Kalau nggak boleh nawar, saya nggak jadi beli!” Kataku pasti walau masih tersenyum. Nenek memandangku dengan pandangan aneh, sementara Happy Lee yang mencium aroma kejailan mulai menebar umpan. Ragu-ragu nenek berkata, “Boleh nawar sedikit!” Saya tertawa mendengar jawabannya lalu bertanya kembali apakah dia yakin saya boleh menawar barang dagangannya? Nenek menjawab cukup yakin bahwa saya boleh menawar harga tape yang dijualnya sementara handai taulan yang jumlahnya belasan orang saat itu memandangku heran. Mungkin mereka menilai betapa kejamnya saya. Namun saya tidak peduli, saya ingin menawar harga tape yang saya beli maka sayapun melakukannya.

“Karena nenek bilang saya hanya boleh nawar sedikit maka saya akan nawar sedikit, berapa harganya tadi?” Nenek lalu menyebutkan harganya, saya lupa mungkin sekitar tujuh ribu sekian ratus rupiah, dia juga mengatakan bahwa tiga atau empat bungkus tape yang telah kami makan sebagai hadiah. Saya mengeluarkan dompet dari kantong lalu mengambil selembar uang lima puluh ribu dari dalamnya. Sambil berkata “Saya tawar harganya lima puluh ribu ya nek?” saya mengangsurkan uang lima puluh ribu kepadanya. Nenek menatapku dan berkata uangnya tidak cukup untuk kembalian dan minta aku membayar dengan uang pecahan yang lebih kecil. Saya menatapnya, “Lho, tadi nenek bilang boleh nawar? Saya nawar lima puluh ribu!” Nenek menatapku heran, begitu juga handai taulan yang lain, Happy Leemulai ngakak.

Saya menatap nenek tajam sambil mengambil kembali uang lima puluh ribu dari tangannya dan mengembalikan kantong berisi tape ke tangannya lalu berkata, “Kalau tidak boleh nawar, saya tidak jadi beli tape nenek. Kalau boleh nawar, saya menawar lima puluh ribu, tidak lebih tidak kurang, pas, karena tadi nenek bilang saya hanya boleh nawar sedikit.” Saya lalu mengangsurkan uang itu ke tangannya yang keriput, dia menerimanya ragu-ragu, wajah keriputnya sangat lucu saat itu. Saya ambil kembali uang itu dari tangannya, lalu bertanya tegas, “Saya boleh nawar nggak?” Nenek tertawa serba salah, wajah keriputnya nampak cantik walau renta, matanya berbinar-berbinar bingung sumringah.

Saya mengedarkan pandangan kepada handai taulan yang lain, nampaknya mereka sama bingungnya dengan nenek. Mungkin mereka menilai saya kurang ajar karena berani mempermainkan nenek. Saya bertanya sekali lagi, “Saya boleh menawar? Bila tidak boleh menawar saya tidak jadi beli!” Nenek tertawa serba salah, “Boleh nawar sedikit!” Jawabnya. Saya menatap nenek dengan pandangan pasti, “Kalau begitu saya tawar sedikit, lima puluh ribu, kalau boleh saya beli kalau nggak boleh nggak jadi beli.” Happy Lee ngakak, beberapa handai taulan juga ngakak, sementara beberapa yang lainnya sama bingungnya dengan nenek. “Lima puluh ribu, kalau boleh saya beli, kalau tidak boleh nggak jadi beli. Boleh?” Nenek bingung, ragu-ragu dia menjawab, “Boleh!” Saya mengambil tape dari tangannya lalu memberikan uang lima puluh ribu sebagai gantinya. Dia tertawa bingung, memamerkan gusinya yang ompong. Saya tertawa ngakak, Happy Lee tertawa ngakak, beberapa handai taulan ikut tertawa ngakak, sementara yang lainnya tertawa bingung seperti nenek.

“Nek, menawar itu kan terserah saya. Saya mau menawar lebih murah atau menawar lebih mahal itu kan terserah saya kan? Nah, sekarang saya menawar lebih mahal, masa nggak boleh?” Mendengar ucapanku itu suara tawa membahana, sekarang semua orang mengerti kejadian sebenarnya, termasuk nenek. “Wo ala …” Nenek memukul bahuku sambil ngakak. Aku suka melihat wajah rentanya sumringah, aku suka suara ngakaknya yang lepas bebas agak serak, aku suka melihat mulutnya terngangah memperlihatkan gusinya yang ompong, aku suka melihat bibir keriputnya yang bergetar, aku paling suka melihat mata tuanya yang berbinar-binar tulus. Setelah tawanya reda, dia menatapku dan berkata, “Terima kasih ya?” Sambil memegang tanganku, aku membalasnya dengan menepuk dan membelai bahunya yang ringkih lalu meremas tangannya.

Itu salah satu hari bahagia di kampungku, sementara jenazah pamanku terbaring tenang di dalam peti matinya. Sejak hari itu aku dan Happy Lee pun menjadi legenda di kampungku, dua orang preman dari Jakarta yang membuat orang-orang tertawa senang. Sejak hari itu, setiap tahun aku dan Happy Lee pulang kampung, di mana kami hadir, di situ pasti suara tawa lepas menggelegar.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.