Sembahyang Gunung dan Sungai Agama Khonghucu


Agama Khonghucu hanya menyembah leluhur (zǔ 祖) dan nenek moyang (zōng 宗). Leluhur dan nenek moyang tidak makan, sesajen bukan memberi makan namun mengajak mereka bersilahturami sambil makan bersama.

Dengan bertanya, “Dari mana diriku berasal?” kita pun sampai pada kesimpulan tentang nenek moyang (zōng 宗) yang bila pertanyaannya dilanjutkan akan kita akan sampai pada leluhur (zǔ 祖) yang dari-Nya sepasang manusia jadi (shēng 生).

Bagaimana kalau pertanyaannya kita arahkan kepada tanaman? Dari mana pohon duren ini berasal? Bagaimana kalau pertanyaannya untuk binatang? Dari mana kerbau ini datang? Bagaimana dengan benda-benda mati? Dari mana bulan berasal? Kita akan sampai pada kesimpulan bahwa berlaksa ada (wànwù 萬物) ADA (shēng 生) karena diadakan oleh beratus roh (bǎishén 百神).

Kerabatku sekalian, atas kenyataan-kenyataan demikianlah maka kelima kaisar (wǔdì 五帝) melembagakan dan ketiga raja (sānhuáng 三皇) mengajarkan sembahyang arwah dan roh (guǐshén 鬼神) di altar gunung dan sungai (shānchuān 山川).

Handai taulanku sekalian, kepada nenek moyang (zōng 宗) dan leluhur (zǔ 祖), sejak purbakala, orang Tionghoa memberi hormat dan menyajikan sesajen (lǐshì 禮祀). Di dalam agama Khonghucu, memberi hormat dan menyajikan sesajen itu namanya sembahyang.

Kepada arwah dan roh (guǐshén 鬼神) di altar gunung dan sungai (shānchuān 山川) orang Tionghoa tidak memberi hormat apalagi menyajikan sesajen. Bila demikian, apa yang orang Tionghoa lakukan di altar gunung dan sungai? Kita hanya MENYAPA (bīn 儐) mereka sebagai sesama ciptaan.

Kenapa tidak memberi  hormat dan menyajikan sesajen kepada beratus arwah dan roh (guǐshén 鬼神)? Karena beratus arwah (guǐ 鬼) yang tidak kita kenal itu, yang kita kenal ada di kuil silsilah (qǐnmiào 寢廟) alias kuil nenek moyang (zōngmiào 宗廟) dan kuil leluhur (zǔmiào 祖廟). Karena orang Tionghoa hanya memberi hormat kepada leluhur kita sendiri.

Bagaimana cara orang Tionghoa MENYAPA (bīn 儐) beratus roh (bǎishén 百神) alias arwah dan roh (guǐshén 鬼神)? Diu jaman kuno dengan membakar kayu. Di zaman kemudian, dengan membakar dupa.

Ketika putra langit (tiānzǐ 天子) merasa cocok dengan keempat penjuru (sìfāng 四方) maka yang pertama kali dilakukannya adalah membakar kayu (chái柴 – dupa). Liji IX:II:1 – Jiao tesheng

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.