Semalam di Santa Monica


Sincia artinya tahun baru. Menurut kelender Tionghoa itu adalah hari ulang tahunku. Sejak kecil aku selalu merayakan ulang tahun pada hari itu. Sejak kecil, pada hari ulang tahunku, mama akan masak misua (bihun kecil) dengan telur bulat. Setiap anggota keluarga akan mendapat semangkuk misua dengan dua butir telur bulat dan bakso daging cincang. Bahkan di hari-hari termiskin dalam keluarga kami, jatah dua butir telur dan bakso daging cincang itu tetap ada dan lengkap.

Sincia artinya tahun baru, hari ulang tahunku. Adikku yang paling kusayangi, kakak yang paling disayangi adik-adikku, anak yang paling disayangi papa dan mamaku pergi ke negeri di seberang langit biru pada hari itu 5 tahun yang lalu.

Walaupun telah menikah dan berpisah namun aku dan adik-adikku selalu berkumpul pada hari sincia di rumah kedua orang tuaku. Sincia kali inipun kami berkumpul di sana dan Mama tetap menyajikan misua dengan dua butir telur rebus dan bakso daging cincang untuk merayakan ulang tahunku. Aku menyuap misua kuah itu sambil menahan rasa kengenku pada almarhum adikku. Walaupun tidak pernah membahasnya, namun baik mama, papa, aku maupun adik-adikku saling tahu bahwa sejak Cilin pergi ke seberang langit biru, Sincia memiliki makna khusus pada setiap kami, tahun baru, hari ulang tahunku, hari meninggalnya anggota tersayang keluargaku.

Teman-teman gereja dan teman teman lainnya datang bergantian, begitupun dengan saudara-saudara sepupuhku dan ponakan-ponakan sepupuhku. Kami semua menikmati berbagai masakan yang nikmat dan berlimpah. Sop babat babi dan ayam goreng serta tempe masak udan dan cabe masakan mamaku tetap merupakan menu utama tanpa tandingan. Istri adikku yang orang Solo menampilkan pepes daging yang mak nyusss rasanya. Istri adikku yang lain menyajikan bakso burung puyuh goreng disiram dengan saos yang hmmmmm … Istriku menyajikan kue nastar dan bolu buatannya. Kerang dan udang rebus walaupun sederhana namun cukup digemari. Tadi pagi, tidak ada kepiting yang dijual di pasar, padahal aku baru saja menemukan resep baru, kepiting saos tirem goreng. Namun itu bukan masalah, masih banyak menu lainnya.

“Kionghi Huatcai (Gongxi Facai), Selamat tahun baru, semoga berkelimpahan!” diucapkan berulang-ulang. Yang muda dan belum menikah mengucapkannya duluan, yang lebih tua dan sudah menikah akan membalasnya dengan menyertakan sebuah angpau, sebuah amplop merah dengan sejumlah uang di dalamnya. Yang belum menikah tidak boleh memberi angpau. Angpau juga diberikan oleh anak yang sudah menikah kepada orang tuanya. Jumlah uang di dalam angpau tidak penting, namun jumlah lembar di dalamnya harus genap. Angpau bukan unjuk kekayaan, namun rasa cinta kasih dan doa serta harapan. Jumlah dua lembar adalah perlambang Yin (negatif) dan Yang (positif), keseimbangan, harmonis.

Handai taulan dan teman-teman datang silih berganti. Selain mengucapkan “Kionghi Huatcai!” Mereka juga mengucapkan “selamat ulang tahun!” padaku. Cukup banyak handai taulan dan teman yang datang, masing-masing lalu duduk ngobrol menurut kelompoknya. Ada yang ngobrol di ruang tamu, ada yang ngobrol di ruang tengah, dapur, ruang makan, ada juga yang ngobrol di beranda rumah. Aku ngobrol bergantian dari satu kelompok ke kelompok lainnya termasuk bermain dengan anak-anak.

Sambil menikmati bir aku ngobrol dengan adikku dan beberapa orang teman dari gerejaku, dua orang di antaranya adalah majelis gereja kami. Mereka bertanya, kenapa aku minum bir langsung dari botolnya? “Untuk membatasi jumlah yang saya minum, kalau pakai botol ketahuan, kalau pakai gelas pasti ditambahin terus di sana-sini!” Mereka tertawa, mungkin ingat kisah-kisah bagaimana hai hai memperlakukan orang-orang mabuk dengan sewenang-wenang.

Kedua Majelis itu mengajakku ikut serta mencari dana bagi penahbisan pendeta baru kami. Saya ngakak sambil menyatakan bahwa, “Ketika menahbiskan seorang pendeta, saat itu kita sedang menyalibkan seorang manusia, mustahil merayakannya dengan dana puluhan juta.” Semua yang mendengar ucapanku ikut ngakak. Gereja kami memang kecil, mustahil mampu menampung tamu-tamu yang datang pada hari penahbisan itu. Itu sebabnya panitia memutuskan untuk menyewa gedung pertemuan. Saya mengusulkan, dari pada menyewa gedung pertemuan, kenapa tidak memperbaiki gudang tempat jemaat main bulutangkis selama ini? Apabila kita mulai merevisinya sekarang, maka saat Natal nanti gedung itu sudah siap bagi kita untuk merayakan Natal.

Beberapa anak muda ikut bergabung dengan kami, perlahan namun pasti obrolan pun beralih. Dua orang pemuda, keponakan sepupuhku menyatakan rasa mindernya untuk mengejar gadis pujaannya. Mereka lalu memaksaku mewariskan sebagian ilmuku, mengatasi rasa minder dan teknik mengejar calon pacar.

Kejarlah wanita cantik, seksi, kaya dan pinter karena pesaingnya sedikit. Di samping itu, bila gagal kita masih bisa menghibur diri. Pada pandangan pertama umumnya wanita melihat rupa dan harta, namun dengan berlalunya waktu karakterlah yang penting. Berprilakulah egois dalam batas tertentu, sebab wanita muda yang tidak bijaksana menyangka egois adalah bukti kekuatan karakter. Baik di film maupun Novel yang disukai wanita muda, semua jagoan egois dan agak urakan. Tunjukkan rasa cemburumu pada lelaki yang lebih jelek darimu yang dikenal gadis itu. Semakin jelek semakin membabibuta cemburumu. Dalam hal pergi ke mana, makan di mana, makan apa, nonton apa jangan pernah bilang “terserah,” sebab wanita muda akan menganggapmu lemah.

Aku menolak ketika pemuda-pemuda yang mendengar kalimat-kalimatku itu memintaku untuk menjelaskannya lebih lanjut. Saya minta mereka mendiskusikannya lalu meninggalkan mereka untuk bergabung dengan kelompok lainnya, para pejabat di pemerintahan dan pensiunan yang sedang asyk berdiskusi tentang kondisi perekonomian di masa depan dan bagaimana membangun masyarakat. Beberapa saat dalam kelompok itu kembali saya beralih ke kelompok lainnya, guru-guru sekolah SD.

Karena asyk mengobrol waktu terasa ngebut, kelompok demi kelompok pamit pulang. Tanpa terasa malam menjelang, tinggal aku adikku dan seorang pemuda, keponakanku yang tinggal dalam kelompok yang ngobrol di beranda. Kami pindah ke ruang makan, ngobrol tentang anjing sambil makan malam.

Tanpa terasa jam 21.00 pun datang. Aku pamit pada keponakanku itu setelah dia menolak untuk bergabung dengan kami menginap di Santa Monica. Aku, istriku dan anakku naik ke mobil, adikku, istrinya dan anaknya yang baru berumur 3 tahun menaiki mobil yang lain. Beriringan kami lalu melaju membelah jalan Sukabumi Bogor menuju Santa Monica di mana adikku yang lain dengan istri dan kedua anaknya sudah menunggu.

Santa Monica, bila hendak ke sana dari Jakarta, melajulah membelah tol Jagorawi menuju Sukabumi. Empat kilo meter dari Ciawi anda akan menemukan pertigaan Cikeretek di sebelah kiri jalan. Walau kecil namun jalannya mulus, melajulah sejauh 5km menuju desa Pancawati maka anda akan langsung menyongsong gerbangnya. Setelah gerbang, anda akan disambut jalanan batu, bila menggunakan mobil sedan, jangan lupa berjalanlah selalu di sebelah kanan agar mobil anda tidak membentur batu jalanan. Setelah 300 meter jalan jelek, silahkan belok kanan dan memarkir kendaraan anda. Hujan deras mengguyur ketika kami tiba. Walau sudah hampir jam 21.30 namun staf Santa monica tetap menyambut kami dengan ramah.

Permadani Biru

Selain adikku dan keluarganya, rupanya mertua dan kedua kakak ipar adikku pun bergabung di sana dengan keluarganya masing-masing. Kami langsung menuju cafee, di sana adikku memperkenalkanku dengan mas Eko (menurut adikku dialah bos pengelola Santa Monica) dan pak Deny teman adikku dan mas Eko. Kami lalu duduk ngobrol sambil menikmati air jahe. Walaupun disediakan kopi, teh, wisky dan bir, namun wedang jahenya yang paling nikmat. Karena pada malam itu tidak ada tamu lain, maka kami bebas untuk memilih pondok yang hendak ditempati. Anakku Wisely memilih sebuah vila dua lantai dengan 6 kasur di lantai dua dan 5 kasur di lantai dasar.

Pondok Mungil Asri

Jam 01.00 dini hari, semua orang sudah lelap, hujan sudah berhenti, langit cerah tanpa bintang dan bulan. Tinggal saya sendirian duduk di beranda pondok membaca buku Fengshui, Ramalan China & Alkitab. Saya tersenyum membaca kata china yang digunakan untuk judul buku tersebut, nampaknya para editor PBMR Andi walaupun ewu pakewuh namun belum rela menggunakan istilah “Tionghoa,” itu sebabnya mereka menggunakan istilah “China,” karena tahu orang-orang Tionghoa tidak suka dengan istilah “Cina.” Menurut saya buku itu akan menjadi best seller, karena dua hal, pertama, nama pengarangnya Daniel Tong, kebanyakan orang Kristen akan langsung mengaitkannya dengan Pdt. Stephen Tong yang dasyat itu. Kedua, baik orang Kristen maupun yang non kristen terutama para penggemar praktek Hongsui dan ramalan Tionghoa pasti penasaran tentang isi buku itu yang ditulis oleh seorang pendeta dan dosen Theologia.

Tanpa mengurangi rasa hormat, namun sejak membaca daftar pustaka, Prakata, Pendahuluan dan kata pengantar buku itu, saya menyimpulkan bahwa isinya walaupun asyik namun tidak akan cukup untuk memuaskan para pembacanya. Seharusnya, sebelum menulis buku tersebut, Pdt. Daniel Tong menyelam lebih dalam ke kitab-kitab Tiongkok kuno, misalnya kitab Si shu dan Wu Jing, Dao De Jing dan Mozi.
Jam 02.15 rasa kantuk datang, saya pun menikmati tidur lelap hingga terbangun pada jam 06.05. Nampaknya saya orang yang terakhir bangun. Adikku yang dokter sudah turun ke Jakarta sebab ada panggilan baginya untuk menangani sebuah kasus.

Saya melangkah ke cafee, duduk lalu menikmati secangkir teh pahit panas yang nikmat walaupun kualitas tehnya biasa-bisa saja. Cerbang, mancer trus abang, itulah istilahku untuk menyebut teh kualitas biasa saja, teh yang memang dijual di pasaran. Istriku sayang menyajikan kueh bolu buatannya. Kami lalu ngobrol berdua saja. Wisely tiba-tiba muncul dari pondok yang ditempati adikku, ipar dan mertuanya. Jam 06.30, dia minta izin untuk berenang. Sebelum istriku menolak saya langsung memberikan izin baginya. Wisely langsung membuka kaos dan celananya, dengan celana dalam, dia langsung berlari menuju kolam dan terjun. Kurang dari satu menit, ponakkanku Michael dan Keny segera menyusul. Istriku pergi menemui istri adikku untuk ngobrol, sedangkan aku langsung melangkah untuk meninjau lingkungan Santa Monica.

Bukan Taman, Kebun

Aku melangkah turun ke bawah ke istal untuk melihat para pekerja menggosok kuda-kuda yang dipelihara di sana. Beberapa menit menikmati keelokkan kuda-kuda itu saya lalu berjalan menuju hutan pinus. Wow, ternyata Santa Monica juga menyediakan sarana untuk outbond. Setelah melakukan perenggangan sayapun lalu mencoba sarana yang ada. Hujan semalam membuat pepohonan dan tali-temali basah dan licin, tidak mau mengambil risiko, saya hanya memanjat ban-ban bekas yang digantung. Tiba-tiba naluri saya tertantang untuk menuruni lembah yang cukup dalam (sekitar 100M) dengan medan yang sangat menantang dengan kemiringan sekita 45-65 derajat. Saya lalu melakukan pengamatan atas medan yang harus dilalui untuk menuruni lembah itu sembil mengira-ngira kekuatan saya untuk mendakinya kembali. Saya melihat sebuah bangunan di dasar lembah, nampaknya sebuah pabrik yang entah memproduksi apa.

Saya kembali melakukan peregangan dan mengencangkan sendal gunungku setelah menarik napas panjang sayapun meluncur turun. Ada rasa bangga memenuhi dada, karena walaupun tidak semantap waktu muda, namun saya dapat menuruni lembah itu dengan cukup mantap. Ah, ternyata pabrik itu mengolah air. Pemilik pabrik itu nampaknya cukup ramah pada lingkungan, ada kran yang ketika kubuka mengucurkan air jernih, ketika kucoba rasanya sangat bersih, sayapun lalu meneguknya untuk menghilangkan rasa haus.

Rasa gentar menyusup hatiku ketika menatap tebing yang harus kudaki untuk kembali ke Santa Monica. Dengan berbisik, “Apa kata dunia?” Saya pun mulai mendaki. Ternyata benar, saya sudah tua dan kehilangan kekuatan masa mudaku. Satu-satunya hal yang memaksa saya terus mengerahkan tenaga mendaki, terkadang terpaksa meraih semak-semak untuk menjaga keseimbangan dan berdiri istirahat dengan kaki gemetar dan nafas ngos-ngosan adalah karena hari itu adalah hari pertama saya menerjang usia 45. Setelah mencapi puncak lembah yang berupa sebuah tanah lapang berumput hijau, saya langsung menuju ke sebuah pondok dan membaringkan diri di sana dengan nafas ngos-ngosan dan dada rasanya hampir meledak. Sambil berbaring saya menatap gunung salak di kejauhan.

Santa monica, saya akan kembali lagi, bila saat itu tiba, maka saya akan menuruni dan mendaki lembahmu bak kambing gunung jantan.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.